Selasa, 04 Oktober 2016

Malam Pertama

Pagi itu, seperti biasa, saya bangun tidur dengan sempurna. Lebih sempurna dari suami yang punya istri empat. Bahkan lebih sempurna dari laki-laki yang berhasil mempoligami Isyana, Pevita, ditambah Raisa. Dengan langkah yang masih lemas, sisa dari mimpi semalam, saya melangkahkan kaki ke jeding asrama. Iya, pagi itu adalah pagi pertama saya di asrama – setelah menghadapi MOS selama tiga kali lebaran empat hari empat malam di Madrasah.

Di rumah, saya bangun tidur langsung merapikan bantal dan guling saja, kini saya harus merapikan keduanya, ditambah kasur lantai, selimut hati tidur, dan juga tikarnya. Teman-teman juga melakukan hal yang demikian. Namun berbeda dengan salah seoarng teman yang saya perhatikan, ia masih tertidur pulas. Matanya mengatup keras. Sementara dinginnya tahajjud sudah masuk ke tulang. Speaker dan bel berbunyi beriringan, namun ia, santri yang kelak saya memanggilnya dengan panggilan ‘Batek’ masih pulas dengan mimpi panjangnya.

Batek masih terlungkup. Bantal guling ia peluk keras. Sesekali memaju-mundurkan pantatnya. Seolah memukul-mukul bantal itu dengan perutnya. Sementara kami menyaksikan dengan khusu’adegan yang tak mungkin bisa di-replay ini. Bunyi bel sudah mereda, suara speaker diganti dengan alunan dan nasyid Opick ft siapalah namanya. Hingga, kami pun bubar setelah melihat kehadiran sosok berkumis berdiri di depan pintu ruangan. Di tangan kanannya sebuah rotan dan agak kusam, tangan kiri memegang ember berisikan air selokan. Dia adalah ustadz pembina asrama.

“Kenapa kalian tidak membangunkan teman kalian?” tanyanya. Matanya memperhatikan setiap jengkal isi ruangan. Namun tidak ada yang menggubrisnya.

“Kenapa kalian diam?” dan kami masih dalam posisi semula, tak berani berkata apa-apa. Selangkahpun kami tak berani memindahkan badan.

“Kalian mau ini?” ia kembali bertanya pada kami. Sambil mengangkat rotannya. Dan kami lagi-lagi diam.

“Hey, kamu! Bangun!” Ustadz menyodok badan Batek dengan rotannya. Namun Batek masih pulas, seolah-olah rotan adalah balasan dari apa yang ia lakukakan pada bantal. Saya bergidik nyeri. Menutup mata sesekali, menutup hidung berkali-kali. Teman di samping saya tak henti-hentinya menguapkan bau mulut yang tak pernah ta’arufan sama sekali dengan odol itu.

Lalu, terjadilah sebuah percakapan antara ustadz dan Batek. Sebuah percakapan alam mimpi dan alam nyata. Kami menyebutnya percakapan dua dunia. U untuk Ustadz, dan B untuk Batek ;

U : Hey, kamu, kenapa susah sekali bangun?

B : Saya sudah bangun, kamu ini kepo sekali. Kenapa nanya-nanya. Udah jelas saya bangun dari tadi. Nah, kamu, kamu siapa?

U : Kamu bangun? Lalu yang kamu sodok-sodok itu apa?

B : Yoh, kamu ngga lihat? Ini saya lagi bangun keluarga. Makanya, saya bilang kalau saya sudah bangun dari tadi.

Percakapan selesai setelah penggalan kalimat ngingo yang keluar dari mulut Batek. Pagi itu, Batek ternyata sedang bermimpi membangun keluarga bahagia dengan Mar’iatun Ozawatun. Untuk latar mimpi di mana ia membangun keluarga, saya tidak tahu dan tidak mau menanyakannya. Yang pasti Batek adalah tokoh utamanya. Pagi itu, Batek harus mandi. Sebab basah di luar, dan juga basah di dalam. Ustadz menyiramnya dengan siraman air, setelah itu diberi siraman rohani.


--- End ---

Bagikan

Jangan lewatkan

Malam Pertama
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

2 komentar

Tulis komentar