Bagi saya, sahabat adalah orang yang
selalu ada. Baik senang maupun susah. Tak mudah memang menemukan orang yang
sepaham dengan kita, pola pikir, kesukaan, ataupun jalan hidup yang dipilih.
Awalnya saya sama sekali tidak pernah memilih untuk masuk ke pesantren, murni,
itu adalah pilihan kedua orangtua saya. Dan sooo, lambat laun, saya menyadari,
pilihan bapak dan ibu ada benarnya juga. Sahabat tidak memandang muka, mau
sebelengek apapun, kalau namanya sahabat, ya selalu saling rangkul. Kalau saling
sikut, itu namanya orang lagi main bola.
Di pesantren, mudah sekali menemukan
sahabat. Dia orang yang suka memberimu pinjaman mungkin, atau orang yang selalu
ada di setiap kali kamu minta dianterin boker mungkin, atau hal sepele, seperti
ia rela diajak olehmu buat ngapel walau dia sendiri nunggu berjam-jam sampai semua badan jadi lumutan.
Saya punya sahabat. Persahabatan
kami sangatlah kental. Ia rela saya bangunkan tengah malam karena saya kebelet
boker. Jarak untuk boker yang nyaman tanpa gangguan setan atau
saudara-saudaranya adalah di kali yang ada di dekat Mesjid. Jaraknya itu kalau
jalan kaki dipastikan capek. Catatan, itu kalau kamu jalan sambil jinjit. Oke,
serius, maksudnya jaraknya itu cukup jauh lah. Dan ya! Dia rela nunggu sampai
saya benar-benar merasa pulas. Akhirnya kami hidup serumah dengan akur saat
itu, walau hubungan kami cuma sebatas sahabat. Karena kami sadar, hubungan kami
tidak mungkin dilanjutan ke hubungan yang lebih serius lagi. Selain saya tak
mau memutuskan garis keturunan, saya masih sadar, kata “sahabat” saya rasa adalah
hubungan yang terbaik untuk kami. Kami pun bertahan cukup lama waktu itu,
sekitar satu tahun kemudian ia memilih sahabat yang baru, dan begitupun saya.
“Orang pelit ngga punya sahabat.”
Banyak orang yang saya temukan di
pesantren. Semuanya baik. Namun tidak semuanya yang bisa menjadi sahabat yang
benar-benar membuat saya merasa nyaman. Jika dulu masih awal-awal mondok,
sahabat dihitung dari seberapa ia betah dan bertahan denganmu dalam keadaan
yang ia bisa jaga, namun tak bisa dalam keadaan terdesak. Sebab ia tak akan
bertahan lama. Kini, ketika sudah bernajak MA/SMA, sahabat dilihat dari
seberapa ia rela bertahan denganmu dalam kedaan apapun! Ia akan selalu ada di
sampingmu! Bahkan dalam keadaan yang terdesak sekalipun! Ia akan membelamu
walau betismu berakhir di rotan utadz.
Saya pernah menyaksikan sebuah
adegan ketika dua orang yang ketahuan main playstation lalu diintrogasi
ustadz di malam selanjutnya. Saya pakai nama samara saja, Ma’kul dan
Cakup sebagai anak yang ketahuan. Oh ya, cuma Ma’kul yang kena introgasi.
“Kamu tahu kesalahanmu apa?” Tanya
ustadz. Kebiasaan emang.
“Tahu ustadz….” Ma’kul menundukkan
kepala.
“Kalau tahu, kenapa masih
dikerjakan?”
“Ga ada kerjaan, Ustadz….” Jawab
Ma’kul pelan.
“Itu kitab ngga pernah
dibaca, sekarang bilang ngga ada pekerjaan. Sekarang, berdiri!” Bentak
ustadz sambil memegang rotan yang sudah menghabiskan betis santri turun temurun
itu.
“Oh ya, kamu main playstation
sama siapa?” Ustadz mengurungkan diri untuk memecutnya.
“Sendirian, ustadz!”
“Tidak usah bohong!”
“Iya ustadz…” Mulut Ma’kul bergetar.
“Mana mungkin main ps
sendirian. Cepat! Sama siapa kamu pergi! Saya dapat laporan dari masyarakat
kalau kamu pergi berdua. Cepat!” Mulut ustadz sudah komat kamit, sementara itu
kami menyaksikan adegan ini dengan penuh haru, ketegagan, dan penghayatan.
“Sama Pak Dapur ustadz….” Mulut
Ma’kul bergetar.
“Kamu mau main-main sama saya? Mana
mungkin Pak Dapur main ps, hah?”
“Bener ustadz! Saya sama Pak Dapur
waktu itu. Kami main Gitar Hero.”
“Siapa yang nanya kamu main apa.
Yang saya tanya kamu main sama siapa!”
“Kan udah saya bilang, Tadz.” Ma’kul
kini rileks menjawab.
“Kamu pikir saya bodoh, Kul? Pak
Dapur itu tidak ada, yang ada Ibu Dapur! Kecuali kalau kamu bilang main ps sama
Buk Dapur, baru bisa ditolelir. Lagipula, Buk Dapur cuma bisa main api. Nyalain
kompor, matiin kompor! Cepat, angkat sarungmu.”
“Plaaaaaaaaaak!” Betis Ma’kul
berciuman dengan rotan. Adegan sahdu. Betis Ma’kul merah bekas gincu rotan. Dan
rotan biasa-biasa saja. Begitulah sahabat, Ma’kul rela dihukum sendirian, walau
resikonya hanya ia yang mendapatkannya.
***
Menyoal sahabat yang tadi, begitulah
versi dari beberapa santri. Teman sepermainan, teman mengaji, atau teman
membolos juga bisa dibilang sahabat. Asal dilakuinnya bersama. Namun,
sebenarnya, ada sahabat yang sudah kita lupakan. Ia baik pada semua orang. Ia
bisa berbaur dengan semua golongan. Baik santri yang kere, atau yang banyak
duit. Namanya Mie, nama lengkapnya Mie Sedap Rasa Apa Aja. Ia
menjadi penolong ketika lauk tak enak, nasi tak sedap, atau lapar di tengah
malam ngga ketulungan. Ia tidak akan mengeluh ketika kami menjamahnya
bersamaan, banyak orang. Walau ukurannya kecil, ia tak akan mengeluh walau air
kuah lebih banyak 10 kali lipat dibanding yang seharusnya ia terima. Ia tak
akan berontak ketika kami memergokinya sedang dimakan lalu kami ramai-ramai
memintanya.
Oh, Mie.
Rasa Apapun
Kamu.
Begitulah Kamu.
Sahabat Kami,
Selamanya…
Terima kasih, Mie. Jasamu tak akan kami
lupakan.
--- End ---
Baca Cupes lainnya :
Bagikan
Sahabat
4/
5
Oleh
Muhammad Getar