Pagi itu, seperti biasa, saya bangun
tidur dengan sempurna. Lebih sempurna dari suami yang punya istri empat. Bahkan
lebih sempurna dari laki-laki yang berhasil mempoligami Isyana, Pevita,
ditambah Raisa. Dengan langkah yang masih lemas, sisa dari mimpi semalam, saya
melangkahkan kaki ke jeding asrama. Iya, pagi itu adalah pagi pertama saya di
asrama – setelah menghadapi MOS selama tiga kali lebaran empat hari empat
malam di Madrasah.
Di rumah, saya bangun tidur langsung
merapikan bantal dan guling saja, kini saya harus merapikan keduanya, ditambah
kasur lantai, selimut hati tidur, dan juga tikarnya. Teman-teman juga
melakukan hal yang demikian. Namun berbeda dengan salah seoarng teman yang saya
perhatikan, ia masih tertidur pulas. Matanya mengatup keras. Sementara
dinginnya tahajjud sudah masuk ke tulang. Speaker dan bel
berbunyi beriringan, namun ia, santri yang kelak saya memanggilnya dengan
panggilan ‘Batek’ masih pulas dengan mimpi panjangnya.
Batek masih terlungkup. Bantal guling
ia peluk keras. Sesekali memaju-mundurkan pantatnya. Seolah memukul-mukul
bantal itu dengan perutnya. Sementara kami menyaksikan dengan khusu’adegan yang
tak mungkin bisa di-replay ini. Bunyi bel sudah mereda, suara speaker
diganti dengan alunan dan nasyid Opick ft siapalah namanya. Hingga, kami pun
bubar setelah melihat kehadiran sosok berkumis berdiri di depan pintu ruangan.
Di tangan kanannya sebuah rotan dan agak kusam, tangan kiri memegang ember
berisikan air selokan. Dia adalah ustadz pembina asrama.
“Kenapa kalian tidak membangunkan
teman kalian?” tanyanya. Matanya memperhatikan setiap jengkal isi ruangan.
Namun tidak ada yang menggubrisnya.
“Kenapa kalian diam?” dan kami masih
dalam posisi semula, tak berani berkata apa-apa. Selangkahpun kami tak berani
memindahkan badan.
“Kalian mau ini?” ia kembali
bertanya pada kami. Sambil mengangkat rotannya. Dan kami lagi-lagi diam.
“Hey, kamu! Bangun!” Ustadz menyodok
badan Batek dengan rotannya. Namun Batek masih pulas, seolah-olah rotan adalah
balasan dari apa yang ia lakukakan pada bantal. Saya bergidik nyeri. Menutup
mata sesekali, menutup hidung berkali-kali. Teman di samping saya tak
henti-hentinya menguapkan bau mulut yang tak pernah ta’arufan sama
sekali dengan odol itu.
Lalu, terjadilah sebuah percakapan
antara ustadz dan Batek. Sebuah percakapan alam mimpi dan alam nyata. Kami
menyebutnya percakapan dua dunia. U untuk Ustadz, dan B untuk Batek ;
U : Hey, kamu, kenapa susah sekali
bangun?
B : Saya sudah bangun, kamu ini kepo
sekali. Kenapa nanya-nanya. Udah jelas saya bangun dari tadi. Nah, kamu, kamu
siapa?
U : Kamu bangun? Lalu yang kamu
sodok-sodok itu apa?
B : Yoh, kamu ngga lihat? Ini
saya lagi bangun keluarga. Makanya, saya bilang kalau saya sudah bangun dari
tadi.
Percakapan selesai setelah penggalan
kalimat ngingo yang keluar dari mulut Batek. Pagi itu, Batek ternyata sedang bermimpi
membangun keluarga bahagia dengan Mar’iatun Ozawatun. Untuk latar mimpi di
mana ia membangun keluarga, saya tidak tahu dan tidak mau menanyakannya. Yang
pasti Batek adalah tokoh utamanya. Pagi itu, Batek harus mandi. Sebab basah di
luar, dan juga basah di dalam. Ustadz menyiramnya dengan siraman air, setelah
itu diberi siraman rohani.
--- End ---
Bagikan
Malam Pertama
4/
5
Oleh
Muhammad Getar
2 komentar
Tulis komentarHahaha... Sempurnaaa...
ReplyHahahahaaa
Reply