Semasa kecil dulu, sepak
bola adalah suatu permainan rutinitas saya yang tidak bisa saya tinggalkan. Sebelum
pindah ke rumah saya yang sekarang di Tanak Awu, Lombok Tengah. Saya tinggal di
perumahan milik Sekolah Dasar negeri Sintung Timur. Hampir, setiap hari saya
bermain bola dengan teman-teman. Halaman sekolah terasa milik pribadi. Kalau
tidak sore hari, saya rela berpanas-panasan main bola tepat di siang hari yang
teriknya masyallahuakbar panas.
Di saat itu, saya
merasa San Siro milik pribadi. Plus Giuseppe Meaza. Toh, itu kan satu stadion.
Namanya doang yang beda.
Bola plastik yang
harganya lima ribuan itu menjadi teman. Bola adalah teman. Seperti yang
dibilang Tsubasa Ozora dalam film anime Captain Tsubasa. Hidup SD Nankatsu! Eh,
ngomong-ngomong Nankatsu itu sekolah dasar negeri apa tidak?
Saat itu, saya masih
duduk di kelas 1 Sekolah Dasar. Belum ada nama setenar dan secihui Cristiano
Ronaldo, Lionel Messi, atau Mbida Messi seperti sekarang. Liga Italia menjadi
liga terbaik yang pernah saya tonton. Setidaknya, saya bilang begitu sebab cuma
Liga Serie-A Italia yang pernah saya tonton.
Kecintaan saya pada
sebuah klub sepak bola jatuh pada AC Milan. Beruntung banget, AC! Nama-nama
pemain sepak bola saya tulis di setiap lembaran demi lembaran buku sekolah yang
mereknya Sinar Akhirat itu. Dan kita mulai memproklamirkan diri sebagai pemain
idola masing-masing.
“Saya Shevchenko!” Ujar
saya dengan jersey AC Milan nomor punggung 7. Saya baru tahu akhir-akhir ini.
Shevchenko itu dari Ukraina. Bukan Bangladesh seperti yang diceritakan kakak
kelas dulu.
“Saya Toldo!” Teman
saya tidak mau kalah. Ia jago di kiper, atau posisi penjaga gawang. Maka dari
itu, ia sangat mengidolai Toldo, mantan kiper Internazionale kala itu.
Oleh sebab itu, jika
kami berdua sedang latihan. Latihan free-kick atau penalty, di saat itu pula
mini derby Della Madonia yang syarat gengsi sedang berlangsung. Sementara itu
adik saya Gilang membakar lilin lima ratusan sebagai mini flare. Pokoknya
syarat gengsi. Bagaiamana tidak, jika terjadi gol, maka dia (teman saya) harus
push-up sebanyak tiga kali. Dan jika bola berhasil ditepis atau tidak masuk, maka
saya harus push-up sebanyak itu juga.
Selain bola, saya juga
membeli poster sebagai syarat utama pengakuan dan pengukuhan sebagai seorang fans
club sejati dari teman-teman. Saat itu, saya sungguh bahagia. Sangat bahagia.
Mungkin, saat itu saya belum mengenal sepak bola lebih dalam seperti sekarang.
Yang penuh dengan kebohongan! Suap dan tetek bengeknya.
Titik di mana saya
merasa menangis pertama kali gara-gara sepak bola yaitu bukan karena SD
Nankatsu kalah dari SD-nya Hyuga. Tapi ketika final piala dunia 2002. Padahal, pagelaran
Piala Dunia tersebut tidak saya tonton dari fase grup sampai semifinal. Pas
final, saya lihat pertandingan antara Jerman vs Brazil. Entah kenapa, saya
langsung terpikat oleh Jerman. Sepintas melihat kiper Oliver- Khan dan langsung
membuat saya jatuh cinta padanya, juga pada squad timnas Jerman yang lainnya.
Jerman kalah dua kosong
di final. Saya menangis. Ronaldo jambul, bintang kemenangan Brazil berhasil membawa
pulang piala dunia. Saya Menangis. Menangis kecil. Saya sungguh bersedih kala
itu. Andai saja saya ada di stadion waktu itu, saya akan menerobos pengawalan
petugas di pinggir lapangan, dan akan menghampiri skuad Jerman yang gagah
berani itu. Kemudian menyapa dan memeluknya satu – persatu hingga mereka merasa
agak mendingan.
Sejak saat itu saya
yakin, Sepak Bola buka sekedar mencari gol dan merengkuh piala, tapi lebh dari
itu. Sebuah kehidupan yang penuh warna. Membuat khlayak damai dan suatu kepuasan
mental bagi penikmatnya. Cita-cita saya, semoga di suatu hari nanti, saya bisa
menyaksikan Timnas Jerman berlaga di kandangnya. Bersama fans yang lain. Duduk
di tribun tengah stadion. Mengenakan jersey putih yang menjadi ciri khas jersey
kandang. Mengecat pipi warna hitam, merah, dan kuning. Ah, sungguh tidak
nasionalisnya saya jika seperti itu.
Namun, kepuasan batin
akan terealisasi saat itu juga. Saya tidak bisa membayangkan saat-saat seperti
itu. DANKE!!!
Bagikan
Klub Semasa Kecil
4/
5
Oleh
Muhammad Getar
2 komentar
Tulis komentarHidup Jerman! Danke!
ReplySuka Jerman juga, Ris? Danke! :)
Reply