Jumat, 11 September 2015

Klub Semasa Kecil

Semasa kecil dulu, sepak bola adalah suatu permainan rutinitas saya yang tidak bisa saya tinggalkan. Sebelum pindah ke rumah saya yang sekarang di Tanak Awu, Lombok Tengah. Saya tinggal di perumahan milik Sekolah Dasar negeri Sintung Timur. Hampir, setiap hari saya bermain bola dengan teman-teman. Halaman sekolah terasa milik pribadi. Kalau tidak sore hari, saya rela berpanas-panasan main bola tepat di siang hari yang teriknya masyallahuakbar panas.

Di saat itu, saya merasa San Siro milik pribadi. Plus Giuseppe Meaza. Toh, itu kan satu stadion. Namanya doang yang beda.
Bola plastik yang harganya lima ribuan itu menjadi teman. Bola adalah teman. Seperti yang dibilang Tsubasa Ozora dalam film anime Captain Tsubasa. Hidup SD Nankatsu! Eh, ngomong-ngomong Nankatsu itu sekolah dasar negeri apa tidak?
Saat itu, saya masih duduk di kelas 1 Sekolah Dasar. Belum ada nama setenar dan secihui Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, atau Mbida Messi seperti sekarang. Liga Italia menjadi liga terbaik yang pernah saya tonton. Setidaknya, saya bilang begitu sebab cuma Liga Serie-A Italia yang pernah saya tonton.

Kecintaan saya pada sebuah klub sepak bola jatuh pada AC Milan. Beruntung banget, AC! Nama-nama pemain sepak bola saya tulis di setiap lembaran demi lembaran buku sekolah yang mereknya Sinar Akhirat itu. Dan kita mulai memproklamirkan diri sebagai pemain idola masing-masing.
“Saya Shevchenko!” Ujar saya dengan jersey AC Milan nomor punggung 7. Saya baru tahu akhir-akhir ini. Shevchenko itu dari Ukraina. Bukan Bangladesh seperti yang diceritakan kakak kelas dulu.
“Saya Toldo!” Teman saya tidak mau kalah. Ia jago di kiper, atau posisi penjaga gawang. Maka dari itu, ia sangat mengidolai Toldo, mantan kiper Internazionale kala itu.

Oleh sebab itu, jika kami berdua sedang latihan. Latihan free-kick atau penalty, di saat itu pula mini derby Della Madonia yang syarat gengsi sedang berlangsung. Sementara itu adik saya Gilang membakar lilin lima ratusan sebagai mini flare. Pokoknya syarat gengsi. Bagaiamana tidak, jika terjadi gol, maka dia (teman saya) harus push-up sebanyak tiga kali. Dan jika bola berhasil ditepis atau tidak masuk, maka saya harus push-up sebanyak  itu juga.

Selain bola, saya juga membeli poster sebagai syarat utama pengakuan dan pengukuhan sebagai seorang fans club sejati dari teman-teman. Saat itu, saya sungguh bahagia. Sangat bahagia. Mungkin, saat itu saya belum mengenal sepak bola lebih dalam seperti sekarang. Yang penuh dengan kebohongan! Suap dan tetek bengeknya.

Titik di mana saya merasa menangis pertama kali gara-gara sepak bola yaitu bukan karena SD Nankatsu kalah dari SD-nya Hyuga. Tapi ketika final piala dunia 2002. Padahal, pagelaran Piala Dunia tersebut tidak saya tonton dari fase grup sampai semifinal. Pas final, saya lihat pertandingan antara Jerman vs Brazil. Entah kenapa, saya langsung terpikat oleh Jerman. Sepintas melihat kiper Oliver- Khan dan langsung membuat saya jatuh cinta padanya, juga pada squad timnas Jerman yang lainnya.

Jerman kalah dua kosong di final. Saya menangis. Ronaldo jambul, bintang kemenangan Brazil berhasil membawa pulang piala dunia. Saya Menangis. Menangis kecil. Saya sungguh bersedih kala itu. Andai saja saya ada di stadion waktu itu, saya akan menerobos pengawalan petugas di pinggir lapangan, dan akan menghampiri skuad Jerman yang gagah berani itu. Kemudian menyapa dan memeluknya satu – persatu hingga mereka merasa agak mendingan.

Sejak saat itu saya yakin, Sepak Bola buka sekedar mencari gol dan merengkuh piala, tapi lebh dari itu. Sebuah kehidupan yang penuh warna. Membuat khlayak damai dan suatu kepuasan mental bagi penikmatnya. Cita-cita saya, semoga di suatu hari nanti, saya bisa menyaksikan Timnas Jerman berlaga di kandangnya. Bersama fans yang lain. Duduk di tribun tengah stadion. Mengenakan jersey putih yang menjadi ciri khas jersey kandang. Mengecat pipi warna hitam, merah, dan kuning. Ah, sungguh tidak nasionalisnya saya jika seperti itu.

Namun, kepuasan batin akan terealisasi saat itu juga. Saya tidak bisa membayangkan saat-saat seperti itu. DANKE!!!



                                                                                      

Bagikan

Jangan lewatkan

Klub Semasa Kecil
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

2 komentar

Tulis komentar