Senin, 31 Oktober 2016

Hafalan dan Cara Menghindarinya

Hafalan dan Cara Menghindarinya

Nahwu dan Shoref, dua kitab yang menjadi hafalan wajib untuk kami. Dua kitab ini kami pelajari sejak baru masuk kelas 1 MTs. Kami harus menghafalnya dalam kurun waktu satu tahun. Gara-gara kitab ini pula, kami jadi jarang tidur, jarang senyum, jarang bahagia, dan jarang pacaran. Oh ya, bukannya jarang pacaran. Kalau itu mah emang sebelumnya kita jarang kok. Pokonya jarang deh! Ya, mau gimana ngga jarang : Kalau ngga hafal di setiap kali kegiatan pagi ba’da shubuh, siap-siap, betis cipokan sama kayu. Serem!

Menurut saya, nahwu itu lebih cepat dihafal daripada shoref. Kenapa? Begini penjelasannya. Nahwu itu kitab kecil, tipis, walau yang dihafal lebih banyak dari shoref. Di kitab nahwu – atau sebut saja Matan Jurumiyah, isinya dibagi menjadi beberapa bab. Misalkan tentang baris dapan, baris atas, atau bab-bab lainnya. Walaupun begitu, saya lebih suka menghafalnya.

Shoref itu emang sedikit. Tapi lafadz yang dihafal itu nadanya selalu sama. Misalkan ketika menjelaskan tentang fiil-fiil madhi, bunyi di kitab itu : Nashoro, Nashoroo, Nashoruu… dan ketika beralih ke penjelasan selanjutnya – di fiil mudhore’ maka bunyinya : Yanshuru, Yanshurooni, Yanshuruuna… dan itu yang membuat saya ngga suka. Ya ngertilah kenapa saya ngga suka. Atau ada yang belum peka? Ah dasar, kalian ini. Jadi begini ya, dulu itu saya kesulitan buat ngucapin huruf R. Eh, sampai sekarang sih. Oleh sebabnya, saya selalu menghidari huruf keramat itu.

***

Pagi itu, ba’da Shubuh, kegiatan setor hafalan dimulai. Ustadz duduk di depan. Kami mengelilinginya. Seperti sedang mengelilingi api unggun. Walaupun ngga api, nyatanya pagi itu kami memang kepanasan. Takut ngga hafal, takut ngga lancar, takut ngga tau apa-apa.

Satu persatu dari kami dipanggil, ditanya sampai mana hafalannya, dan mau nambah berapa bab lagi untuk diujikan. Sekilas saya seperti sedang sidang skripsi. Tapi untungnya pengujinya cuma satu. Dan kalau ngga hafal bukannya revisi. Tapi betis kiri kanan dihabisi! HAH! Becanda ding!

Banyak cara agar kita terlepas dari kegiatan ini. Ini bukan tutorial sesat, tapi berdasakan pengalaman nyata yang saya alami sendiri.

1.     Pura-Pura Sakit

Cara ini terbilang kuno sebenarnya. Kamu harus bisa pura-pura ngga sadar dan suhu badan harus diatur agar tampak sakit beneran. Bagaimana caranya agar seolah-olah sakit, padahal satu jam sebelumnya kalian joget-joget di atas lemari? Caranya begini : Buat wajah menyedihkan. Seolah mau mati besok. Dan sesuaikan posisi badan, samakan dengan posisi bayi dalam kandungan. Lipat badan kamu, sebab itu akan membuat badanmu terasa sedikit hangat. Dan yang pasti, sedikit uhuk-uhuk jika kalian berniat bilang kalau lagi sakit batuk.

2.     Tiba-Tiba Pingsan

Ini jarang ditemui. Sebab masih sedikit orang yang berani buat ngelakuinnya. Resiko yang dihadapi cukup besar. Dan teknik untuk pura-pura pingsan pun masih banyak yang melakukan kesalahan. Bagaimana cara tiba-tiba melepas diri dan jatuh seketika. Saya pernah mencobanya, dan kaki saya berakhir dengan pecutan ustadz. Hatur nuhun, Ustadz!

3.     Kedatangan Tamu

Ini adalah salah satu cara nekat! Ya, bagaimana tidak? Kau harus menyewa seseorang yang seolah-olah itu adalah keluargamu. Setiap sesuatu ada resikonya. Resiko yang paling tampak jika ketahuan kalau yang datang itu bukan keluargamu tapi dagang somay sebelah asrama adalah  betis atau pipimu bakal dicipok sama kayu. Makanya, kalau ditanya “Pekerjaan Bapakmu apa?” Bilang aja kalau kerjaannya bisa berubah-ubah sesuai hari dan tempat di mana. Misalkan hari Sabtu dagang somay datang, bilang kalau bapakmu udah dipecat dari dagang cireng dan beralih profesi jadi tukang somay. Jika hari senin ada pedagang baju datang, bilang aja kalau bapakmu somaynya ternyata ngga laku-laku dan banting gerobak jadi pedagang baju. Atau lain-lainnya!

4.     Tak Usah Bohong, Akuilah!

Ini bukan teknik, bukan pula cara agar kalian terbebas dari hukuman karena belum hafal. Maka akuilah, ketika setor hafalan di depan ustadz, dan ternyata kamu belum hafal. Maka terimalah akibatnya. Jangan pura-pura sakit, kedatangan tamu, apalagi pingsan mendadak. Sebab apa yang kamu lakukan itu akan berdampak pada masa depanmu. Terimalah jika kamu memang dihukum, dan berbanggalah ketika kamu sudah menyelesaikan hafalanmu. Biar kelak di kemudian hari kamu tida pura-pura lagi. Sekian!



Baca selengkapnya

Jumat, 28 Oktober 2016

Lombok Itu (?)



Jika Jogja disebut tempat gudanya buku, maka saya ingin menyebut Lombok sebagai gudangnya candu. Kalau sudah ke Lombok, bakal kecanduan. Mau bukti? Silakan Tanya orang-orang yang pernah ke Lombok. Dari Arif Muhammad, penulis pocong juga pocoooong yang mengugggah vlog-nya ke akun youtube. Juga dengan Raditya Dika, blogger, pemeran film, penulis skenario, atau entahlah – saking banyaknya bidang yang digelutinya itu pun beberapa kali membuat video dan mengunggah foto berlatarkan Lombok. Kalau masih ragu dengan keindahan Lombok, silakan tanya saya! Iya! Tanya saya! Dari lahir sampai hari ini, dari lugu, anak-anak, remaja, putus – nyambung, putus, dan ditinggal nikah beberapa kali, saya masih betah tinggal di Lombok, dan masih sangat sulit kaki ini untuk sekadar kata ‘merantau’ ke luar pulau.



via youtube

Dalam episode Mata Najwa dengan tema Komandan Daerah, Gubernur NTB yang menjadi tamu dalam acara yang diapandu Najwa Shihab itu menjelaskan, pariwisata di Lombok, dari segi kuantitas, wisatawan mengalami peningkatan. Peningkatan dari tahun ke tahun begitu signifikan. Lombok, pada tahun 2015 mendapatkan penghargaan berupa World’s Best Halal Tourism Destination dan World’s Best  Halal Honeymoon Destination. Untuk kategori terakhir, hanya berlaku bagi yang punya pasangan ya, maaf, bagi jomblo dan belum menikah, honeymoon itu tak mungkin sekali.

***

Peran pemerintah dalam menduniakan Lombok juga sangat baik. Mengumpulkan anak muda untuk mempromosikan Lombok – Sumbawa sebagai pariwisata terbaik juga tak bisa dipandang sebelah mata. Terbukti dengan beberapa kali diadakannya Social Media Camp, dan juga temu Blogger Time beberapa hari sebelum diadakannya Social Media Camp tersebut.

Anak-anak muda Lombok sudah sewajibnya ikut mempromosikan Lombok. Anak muda itu lebih cepat tangkap dan cepat paham tentang media yang sedang berkembang. Pengguna media sosial pun sampai hari ini masih didominasi oleh kalangan muda-mudi. Sebutlah Instagram. Beribu-ibu foto yang diberi caption tentang indahnya Lombok, lalu di-repost beberapa kali, lalu bermunculan respon netizen yang intinya kagum dengan indahnya Lombok. Ketika mulut tak sampai tujuan, media adalah jalan keluarnya.

2016, Lombok Sumbawa sudah menargetkan diri untuk menarik wisatawan sampai 3 jutaan. Akan menjadi angka yang fantastis jika diukur dengan pencapaian pada tahun sebelumnya. Namun Lombok dan Sumbawa, pemerintah, dan para pegiat media sosial haruslah jeli dan tangkas. Jika mereka tak kompak, mungkin angka itu merupakan angka yang ‘hampir’ mustahil untuk didapat. Maka lahirlah kegiatan-kegatan seperti diatas. Didirikannya Generasi Pesona Indonesia (GENPI) Lombok Sumbawa. Sebuah komunitas resmi penggerak pariwisata NTB yang go digital.

Pulau seribu masjid, wisata halal dan romantis, rakyat yang kharismatik, dan nyaman serta candu untuk dikunjungi, maka sudah pantaskah jika saya menyebut Lombok sebagai retakan surga yang turun bersama Adam dan Hawa?

Baca selengkapnya

Sabtu, 08 Oktober 2016

Membuka Senja di Pantai Ampenan



Tes tes tes!

Oke, terima kasih. Akhirnya saya ngereview lagi. Kali ini Pantai Ampenan! Pantai yang jaraknya hanya beberapa kilo dari kostan, tapi baru bisa mengunjunginya setelah tinggal tiga tahun lebih di Mataram dengan tempat kosan yang itu-itu aja.

Kali ini, saya ke Pantai Ampenan diajak teman. Sebenarnya pacar, tapi toh kalian ngga bakal percaya kan kalau saya bilang pacar? Makanya, percaya sajalah!

Pantai Ampenan, adalah salah satu pantai yang ada di NTB. Tepatnya di Kota Mataram. Jarak untuk ke pantai ini dari pusat kota juga ngga jauh-jauh amat. Jarang macet dan jalanan tanpa lubang, atau hambatan lainnya. Kecuali kalau kalian ngga bawa SIM atau STNK, itu baru bahaya.

Jika kalian berada di Taman Sangkareang (sengaja pakai Sangkareang karena semua orang di Kota Mataram tau taman ini), atau Jalan Catur Warga terus ke arah barat sampai kalian sampai di traffic light di jalan Airlangga. Saran saya, agar diam dulu kalau lampu merah, tunggu sampai hijau baru jalan. Setelah itu, lurus ke arah barat lagi. Kalian akan ada di Jalan Pendidikan setelah itu, tapi terus saja sampai kalian menemukan ujung jalan – yang di mana nanti kalian belok kiri ke arah Jalan Soeprapto. Setelah itu kalian akan menemukan perempatan yang di mana – rambu lalu lintas jika belok ke arah kanan tidak berpacu aturan. Kalian bisa belok walau lampu merah. Kalian berada di Jalan Majapahit atau tepatnya berada di belakang POLDA NTB. Terus ke arah barat, nanti kalian akan bertemu dengan SPBU. Ya, maksudnya ngasih tau aja sih, siapa tahu mau ngisi bensin gitu.

Setelah dari Jalan Majapahit, kalian akan memasuki Jalan Yos Sudarso. Di sana ada Taman Malomba, jika ingin nyatai, bisa ke sana dulu lah. Kalau tak, ya lurus terus sampai bertemu dengan Jalan Niaga 2. Habis itu, kalian bisa tanya-tanya jalan menuju Pantai Ampenan. Dan itu sudah dekat banget kok! So, saya jelasinnya sampai sini saja, ya! Lalu lanjut ke review!

Biaya parkir di lokasi ini terbilang cukup murah. Hanya dua ribu perak untuk motor dan lima ribu perak untuk mobil. Selain pantai yang menjadi objek utama, juga disediakan wahana bermain untuk anak-anak. Pertama, ada tempat penyewaan sepeda sekaligus tempat bermainnya. dan yang kedua ada arena bermain untuk balita. Ya tau lah mainnya.


Parkir


Main sepedaan


-5 tahun

Untuk cemilan, atau makan-makan, di sini lengkap! Banyak! Asal ada uang. Disediakan kerang, sate tentunya, es campur bagi yang kere, dan tak pesan apa-apa pun tak jadi masalah. Warung berjejaran ramai banget, kayak warung ngantri dapat raskin. Pokok e banyak deh.

Dan nikmatnya, menunggu dan melihat matahari tenggelam adalah momen yang sangat indah. Senja di pantai ini romantic! Cocok dicoba dengan pasangan. Jika tak ada, lebih baik tak usah, sebab bisa menyebabkan anda tak sadar diri lalu nyempulng ke pantainya. Karena apa? Ya itu pertanyaan, yang jawab kalian aja.


Membuka Senja


Siapa lagi kalau bukan dia....

Namun, sampah masih saja ada di pantai ini. Padahal, objek wisata ini cukup ramai untuk dikunjungi setiap harinya. So, paragraf terakhir ini adalah keluhan saya sebagai warga dan sebagai penikmat senja. Bukan sebagai orang yang tak punya pacar lalu nyemplung ke lautan.

Terima kasih. Tunggu review yang lainnya ya!





Baca selengkapnya
Sahabat

Sahabat

Bagi saya, sahabat adalah orang yang selalu ada. Baik senang maupun susah. Tak mudah memang menemukan orang yang sepaham dengan kita, pola pikir, kesukaan, ataupun jalan hidup yang dipilih. Awalnya saya sama sekali tidak pernah memilih untuk masuk ke pesantren, murni, itu adalah pilihan kedua orangtua saya. Dan sooo, lambat laun, saya menyadari, pilihan bapak dan ibu ada benarnya juga. Sahabat tidak memandang muka, mau sebelengek apapun, kalau namanya sahabat, ya selalu saling rangkul. Kalau saling sikut, itu namanya orang lagi main bola.

Di pesantren, mudah sekali menemukan sahabat. Dia orang yang suka memberimu pinjaman mungkin, atau orang yang selalu ada di setiap kali kamu minta dianterin boker mungkin, atau hal sepele, seperti ia rela diajak olehmu buat ngapel walau dia sendiri nunggu berjam-jam  sampai semua badan jadi lumutan.

Saya punya sahabat. Persahabatan kami sangatlah kental. Ia rela saya bangunkan tengah malam karena saya kebelet boker. Jarak untuk boker yang nyaman tanpa gangguan setan atau saudara-saudaranya adalah di kali yang ada di dekat Mesjid. Jaraknya itu kalau jalan kaki dipastikan capek. Catatan, itu kalau kamu jalan sambil jinjit. Oke, serius, maksudnya jaraknya itu cukup jauh lah. Dan ya! Dia rela nunggu sampai saya benar-benar merasa pulas. Akhirnya kami hidup serumah dengan akur saat itu, walau hubungan kami cuma sebatas sahabat. Karena kami sadar, hubungan kami tidak mungkin dilanjutan ke hubungan yang lebih serius lagi. Selain saya tak mau memutuskan garis keturunan, saya masih sadar, kata “sahabat” saya rasa adalah hubungan yang terbaik untuk kami. Kami pun bertahan cukup lama waktu itu, sekitar satu tahun kemudian ia memilih sahabat yang baru, dan begitupun saya.

“Orang pelit ngga punya sahabat.”

Banyak orang yang saya temukan di pesantren. Semuanya baik. Namun tidak semuanya yang bisa menjadi sahabat yang benar-benar membuat saya merasa nyaman. Jika dulu masih awal-awal mondok, sahabat dihitung dari seberapa ia betah dan bertahan denganmu dalam keadaan yang ia bisa jaga, namun tak bisa dalam keadaan terdesak. Sebab ia tak akan bertahan lama. Kini, ketika sudah bernajak MA/SMA, sahabat dilihat dari seberapa ia rela bertahan denganmu dalam kedaan apapun! Ia akan selalu ada di sampingmu! Bahkan dalam keadaan yang terdesak sekalipun! Ia akan membelamu walau betismu berakhir di rotan utadz.

Saya pernah menyaksikan sebuah adegan ketika dua orang yang ketahuan main playstation lalu diintrogasi ustadz di malam selanjutnya. Saya pakai nama samara saja, Ma’kul dan Cakup sebagai anak yang ketahuan. Oh ya, cuma Ma’kul yang kena introgasi.

“Kamu tahu kesalahanmu apa?” Tanya ustadz. Kebiasaan emang.

“Tahu ustadz….” Ma’kul menundukkan kepala.

“Kalau tahu, kenapa masih dikerjakan?”

“Ga ada kerjaan, Ustadz….” Jawab Ma’kul pelan.

“Itu kitab ngga pernah dibaca, sekarang bilang ngga ada pekerjaan. Sekarang, berdiri!” Bentak ustadz sambil memegang rotan yang sudah menghabiskan betis santri turun temurun itu.

“Oh ya, kamu main playstation sama siapa?” Ustadz mengurungkan diri untuk memecutnya.

“Sendirian, ustadz!”

“Tidak usah bohong!”

“Iya ustadz…” Mulut Ma’kul bergetar.

“Mana mungkin main ps sendirian. Cepat! Sama siapa kamu pergi! Saya dapat laporan dari masyarakat kalau kamu pergi berdua. Cepat!” Mulut ustadz sudah komat kamit, sementara itu kami menyaksikan adegan ini dengan penuh haru, ketegagan, dan penghayatan.

“Sama Pak Dapur ustadz….” Mulut Ma’kul bergetar.

“Kamu mau main-main sama saya? Mana mungkin Pak Dapur main ps, hah?”

“Bener ustadz! Saya sama Pak Dapur waktu itu. Kami main Gitar Hero.”

“Siapa yang nanya kamu main apa. Yang saya tanya kamu main sama siapa!”

“Kan udah saya bilang, Tadz.” Ma’kul kini rileks menjawab.

“Kamu pikir saya bodoh, Kul? Pak Dapur itu tidak ada, yang ada Ibu Dapur! Kecuali kalau kamu bilang main ps sama Buk Dapur, baru bisa ditolelir. Lagipula, Buk Dapur cuma bisa main api. Nyalain kompor, matiin kompor! Cepat, angkat sarungmu.”

“Plaaaaaaaaaak!” Betis Ma’kul berciuman dengan rotan. Adegan sahdu. Betis Ma’kul merah bekas gincu rotan. Dan rotan biasa-biasa saja. Begitulah sahabat, Ma’kul rela dihukum sendirian, walau resikonya hanya ia yang mendapatkannya.

***

Menyoal sahabat yang tadi, begitulah versi dari beberapa santri. Teman sepermainan, teman mengaji, atau teman membolos juga bisa dibilang sahabat. Asal dilakuinnya bersama. Namun, sebenarnya, ada sahabat yang sudah kita lupakan. Ia baik pada semua orang. Ia bisa berbaur dengan semua golongan. Baik santri yang kere, atau yang banyak duit. Namanya Mie, nama lengkapnya Mie Sedap Rasa Apa Aja. Ia menjadi penolong ketika lauk tak enak, nasi tak sedap, atau lapar di tengah malam ngga ketulungan. Ia tidak akan mengeluh ketika kami menjamahnya bersamaan, banyak orang. Walau ukurannya kecil, ia tak akan mengeluh walau air kuah lebih banyak 10 kali lipat dibanding yang seharusnya ia terima. Ia tak akan berontak ketika kami memergokinya sedang dimakan lalu kami ramai-ramai memintanya.

Oh, Mie.
Rasa Apapun Kamu.
Begitulah Kamu.
Sahabat Kami, Selamanya…

Terima kasih, Mie. Jasamu tak akan kami lupakan.


--- End ---


Baca Cupes lainnya :


Baca selengkapnya

Rabu, 05 Oktober 2016

Razia

Razia

Saya punya teman, selalu satu kelas sejak 1 MTs sampai 3 MA. Kecuali ketika kelas 3 MTs dan 1 MA kala itu.  Namanya Gendoh. Ia bertubuh besar, badannya kekar, kalau kelahi selalu menye-menye dulu. Padahal yang dilawan lebih besar dan tentu kalah jika ia meladeninya.

“Lillahita’ala kamu berani lawan saya?” tanyanya kepada musuh.

“Aku serius! Ante bani lawan aku ne?” – ( Saya serius, kamu berani lawan saya nih? )

Dan tatkala lawannya sudah menyisipkan lengan baju, ia pun berujar, “Hehe, aku bejoraq, hep!” – saya cuma main-main. Begitulah Gendoh.

Jika ngomong, bahasanya campur-campur, bahasa Indonesia setengah, bahasa Sasak setengah, bahasa Zimbabwe setengah. Dan itu membuat kami – para santri tertawa terbahak-bahak kalau ia sudah mulai ngomong. Misalkan, di dalam kelas, ustadz sedang menjelaskan lalu melempar pertanyaan padanya.

“He kamu! Yang main-main di belakang! Kamu ngerti tidak dengan penjelasan bapak?”

Gendoh nyengir, mulutnya nguap – kebiasaan ia ketika kebingungan. Setelah itu ia bilang “QWRTJKSHSKIEHEBDBKSSOYEYBBCNVMID.” Kalian ngerti apa yang Gendoh bilang? Iya, dia sedang menggunakan bahasa campuran Indo – Sasak – dan Zimbabwe.

***

Di pondok, berita menyebar dengan cepat. Satu saja gosip yang sedang dibicarakan, semua santri/wati yang jumlahnya ribuan itu bisa tahu hanya dalam hitungan detik. Lebih cepat dari tikungan teman pada pacar yang sedang ngambek. Lebih cepat dari mantan yang putus dari pacarnya lalu ngajak balikan. Apalagi kasus yang cukup membahayakan bagi kami – misalkan ‘Nanti malam akan ada razia handphone.’ Atau ‘Nanti malam akan ada razia rambut.’ Berita seperti itu akan cepat sekali menyebar. Saya pernah mengalaminya beberapa kali selama mondok.

Waktu itu, ada berita kalau akan ada razia handphone ntar malam, kami pun bergegas dan cepat-cepat menyembunyikan milik masing-masing. Sial seribu sial, malam itu tidak ada razia apapun dan kami akhirnya harus kehilangan barang berharga kami sebab razia ternyata terjadi di malam berikutnya. Ketika handphone kami terkujur kaku di dalam lemari, ketika ia diam ‘silent’ tanpa bicara lalu tiba-tiba diambil, ketika ia lemas tak berdaya lalu dirampas sesuka hati.

Suatu ketika, di pagi hari, setelah pengajian yang langsung dipimpin oleh pimpinan pondok pesantren, Gendoh datang mengabarkan berita. “Ntar, pas masuk kelas, akan ada razia.” Sontak kami kaget dan ketakutan. Pikiran kami berpencar. Ada yang sudah berniat untuk menyembunyikan mantan, menguburkan mantan, bahkan ada juga yang sudah siap untuk diqhisos karena terlalu sering mengambil barang mantan padahal udah putus lama. Kami bertanya, “Razia apa, Doh?” Gendoh tidak mau menjawab. Ia cuma nyengir sambil memamerkan bibirnya yang berdiameter 4 x 3 cm itu.

“Loh!  Seriusan! Kita teman, kan?” bujuk kami.

“Sejak kapan?” Gendoh semakin sombong. Kami tahu, ini pertama kali dalam sejarah kalau kami memelas meminta bantuan padanya. Pada sebelum-sebelumnya, ia selalu mencium kaki kami, lalu setelah itu kami membasuhnya dengan 6 kali basuhan air dan satu kali campuran air dan pasir.

“Ayolah, kamu kan teman kami….” Saya coba mendekatinya. Catatan, ini pertama kali saya mendekatinya, biasanya dia terlebih dahulu mendekati saya. Apalagi ketika UAS, ia sering menanyakan mana yang akan ia pilih, a b c atau d, padahal yang ditanyakan sola essai. “Ini, Tar. Saya bingung mau pilih yang mana. Kenapa manusia berasal dari kera? Jelaskan proses awal sampai wujudnya seperti sekarang. Saya pilih a, b, c, atau d, ya?” lalu saya membalas, “Yaudah, pilih sesuai nuranimu saja! Hati nurani ngga pernah bohong” Kemudian ia pergi sambil berterima kasih, tapi sebelumnya ia akan selalu bilang, “Sebagai balasan, mau nggak kalau kamu aku ciiiiiii…..” Saya selalu memotong, “Nggak!”

***

Jam kelas pun akhirnya dimulai. Didahului dengan baris-berbaris. Tapi tak ada satupun tanda akan adanya razia. Padahal kami sudah menyembunyikan semua barang yang kemungkinan besar akan disita jika ketahuan. Gendoh tak ada, entah ia ada di mana. Hape, charger, celana jeans, foto mantan dengan pacar barunya, dan juga seperangkat mukenah gagal yang mulanya akan saya hadiahkan buat mantan, sudah saya amankan semua.

Dari kejauhan, Gendoh datang. Kami menatapnya serempak. Ia semakin dekat, dan tiba-tiba, ustadz yang saat itu sedang memimpin doa setelah menyampaikan pengumuman penting pun berujar, “Hey, kamu! Udah telat, jalannya pelan lagi! Cepat, pisahkan diri dari teman-temannya yang sudah rapi dan datang dari tadi. Lihat tuh, rapi, gagah, ganteng lagi!”

Saat itu kami sadar, yang dimaksud Gendoh razia itu bukan razia barang. Tapi razia orang. Iya, RAZIA ORANG JELEK. Dan dia adalah satu-satunya orang yang kena tilang pagi itu. Dohhhhh…. Gendoh…..

--- End ---


Baca selengkapnya

Selasa, 04 Oktober 2016

Malam Pertama

Malam Pertama

Pagi itu, seperti biasa, saya bangun tidur dengan sempurna. Lebih sempurna dari suami yang punya istri empat. Bahkan lebih sempurna dari laki-laki yang berhasil mempoligami Isyana, Pevita, ditambah Raisa. Dengan langkah yang masih lemas, sisa dari mimpi semalam, saya melangkahkan kaki ke jeding asrama. Iya, pagi itu adalah pagi pertama saya di asrama – setelah menghadapi MOS selama tiga kali lebaran empat hari empat malam di Madrasah.

Di rumah, saya bangun tidur langsung merapikan bantal dan guling saja, kini saya harus merapikan keduanya, ditambah kasur lantai, selimut hati tidur, dan juga tikarnya. Teman-teman juga melakukan hal yang demikian. Namun berbeda dengan salah seoarng teman yang saya perhatikan, ia masih tertidur pulas. Matanya mengatup keras. Sementara dinginnya tahajjud sudah masuk ke tulang. Speaker dan bel berbunyi beriringan, namun ia, santri yang kelak saya memanggilnya dengan panggilan ‘Batek’ masih pulas dengan mimpi panjangnya.

Batek masih terlungkup. Bantal guling ia peluk keras. Sesekali memaju-mundurkan pantatnya. Seolah memukul-mukul bantal itu dengan perutnya. Sementara kami menyaksikan dengan khusu’adegan yang tak mungkin bisa di-replay ini. Bunyi bel sudah mereda, suara speaker diganti dengan alunan dan nasyid Opick ft siapalah namanya. Hingga, kami pun bubar setelah melihat kehadiran sosok berkumis berdiri di depan pintu ruangan. Di tangan kanannya sebuah rotan dan agak kusam, tangan kiri memegang ember berisikan air selokan. Dia adalah ustadz pembina asrama.

“Kenapa kalian tidak membangunkan teman kalian?” tanyanya. Matanya memperhatikan setiap jengkal isi ruangan. Namun tidak ada yang menggubrisnya.

“Kenapa kalian diam?” dan kami masih dalam posisi semula, tak berani berkata apa-apa. Selangkahpun kami tak berani memindahkan badan.

“Kalian mau ini?” ia kembali bertanya pada kami. Sambil mengangkat rotannya. Dan kami lagi-lagi diam.

“Hey, kamu! Bangun!” Ustadz menyodok badan Batek dengan rotannya. Namun Batek masih pulas, seolah-olah rotan adalah balasan dari apa yang ia lakukakan pada bantal. Saya bergidik nyeri. Menutup mata sesekali, menutup hidung berkali-kali. Teman di samping saya tak henti-hentinya menguapkan bau mulut yang tak pernah ta’arufan sama sekali dengan odol itu.

Lalu, terjadilah sebuah percakapan antara ustadz dan Batek. Sebuah percakapan alam mimpi dan alam nyata. Kami menyebutnya percakapan dua dunia. U untuk Ustadz, dan B untuk Batek ;

U : Hey, kamu, kenapa susah sekali bangun?

B : Saya sudah bangun, kamu ini kepo sekali. Kenapa nanya-nanya. Udah jelas saya bangun dari tadi. Nah, kamu, kamu siapa?

U : Kamu bangun? Lalu yang kamu sodok-sodok itu apa?

B : Yoh, kamu ngga lihat? Ini saya lagi bangun keluarga. Makanya, saya bilang kalau saya sudah bangun dari tadi.

Percakapan selesai setelah penggalan kalimat ngingo yang keluar dari mulut Batek. Pagi itu, Batek ternyata sedang bermimpi membangun keluarga bahagia dengan Mar’iatun Ozawatun. Untuk latar mimpi di mana ia membangun keluarga, saya tidak tahu dan tidak mau menanyakannya. Yang pasti Batek adalah tokoh utamanya. Pagi itu, Batek harus mandi. Sebab basah di luar, dan juga basah di dalam. Ustadz menyiramnya dengan siraman air, setelah itu diberi siraman rohani.


--- End ---
Baca selengkapnya