Senin, 28 September 2015

Futsal with AIS Lombok

2013

Jauh sebelum hari H, hari perayaan hultah AIS Lombok, teman saya Nopi mengirimkan pesan singkat pada saya perihal perayaan ulang tahun AIS Lombok atau Arsenal Indonesia Supporter Lombok. Perayaan kecil-kecilan akan diselenggarakan di lapangan futsal Udayana. Tanpa banyak tanya, saya menyanggupinya. Dia akan ke kos saya terebih dahulu di Dasan Agung, kemudian kami akan bersamaan ke lokasi.
Baca selengkapnya

Sabtu, 26 September 2015

BEHA with Hadi Kurniawan



Hola! Selamat pagi semuah! Ini untuk pertama kali, saya mengundang salah satu penulis buat ditanya-tanyain di segmen BEHA. Tau BEHA kan? Kalo belum tahu, saya kasih tahu nih. BEHA itu akronim dari Bincang Hangat. Tapi diplesetin jadi BEHA. Bukan apa-apa, biar setiap orang yang ngedengernya bikin semangat. Iya, kan?

Baca selengkapnya

Kamis, 24 September 2015

Bertemu Agus Magelang aka Agus Mulyadi

Jum’at lalu (21 Agustus 2015), saya dengar kabar Mas Aditia Purnomo bersama rombongan akan mengunjungi Lombok. Juga bersama dengannya, idola saya, Agus Magelang atau Agus Mulyadi.
Setelah saling contac dengan Mas Adit, katanya, Senin pagi rombongan bakal balik ke Jogja. Akhirnya, semalam (23 Agustus) saya ke Mataram buat mengunjungi mereka di Hotel Arianz.
Setibanya, ternyata rombongan dalam perjalanan menuju balik ke hotel. Saya duduk di loby hotel beberapa menit, tidak lama.

Wesss, bus tiba. Rombongan datang. Mas Eddwars S Keneddy penulis Sepak Bola Seribu Tafsir lewat di depan saya. Setelah itu rombongan lain menyusul. Saya reflek, berdiri, kemudian menyalami Agus dan Adit. Walah, saya malah dicie-cien. Agus tersenyum, saya ikut tersenyum. Rombongan yang saya tahu juga Nody, penjaga minumkopi.com, selebtwit Arman Dani, dan Annurrahman Wibisono. Ya, saya kenal mereka, mereka tidak mengenal saya. :D

Rombongan tadi menuju kamar masing-masing. Hanya Agus yang diam. Kemudian kami duduk di lobby hotel membicarakan beberapa hal.

“Gus, gimana kabarnya?”

“Alhamdulillah, baik…”

“Tadi kemana aja Gus?”

“Ke Aan, Payung…”

“Oh, pantai Aan Gus..”

“Iya…” Beliau tertawa kecil.

“Lah, saya kira Pantai Kuta cuma ada di Bali, di Lombok juga ada toh…” Katanya sambil tersenyum.

Saya tersenyum. Kemudian membicrakan hal lain, seperti blog beliau, buku beliau. Saya sempat bilang “Bukumu yang kedua ngga nyampai sini, Gus.”

“Oh, kalau yang itu memang distributor mengkhususkannya untuk beredar di Pulau Jawa saja dulu.”

Di sela-sela pembicaran, Adit muncul lagi. Dan kami membicarakan beberapa hal mengenai situs mojok, jombloo, dan lainnya.

“Besok ulang tahun mojok ya, Mas?” tanya saya.

“Wah iya, mau ke Jogja?” tanyanya sambil membuka tas berisi Buku Mojok yang akan diterbitkan besok.

Agus kembali menceritakan kenapa beliau bisa menjadi seperti sekarang ini. Cukup banyak.  Tapi kami tidak membicarakan perihal asmaranya. Sampai kemudian saya membuka ransel dan membuka plastik yang berisi gorengan.

“Gus, maaf. Tidak ada torabika-nya.”  Kata saya, karena saya tahu beliau suka kopi torabika.
Agus tertawa. 
“Wah, tidak apa-apa, Mas. Terima kasih”

Selang beberapa lama, saya pamit untuk balik ke kos. Karena melihat mereka berdua nampak kelelahan.


                                         




                                                             


Baca selengkapnya

Hadiah dari Jombloo Dot Co

Awal saya mengenal situs ini dari Pak Edi Mulyono, ceo Diva Press. Buat nulis di jombloo, kadang diterima, kadang juga ditolak. Saya beberapa kali mengirimkan artikel saya, ngga diterima-terima. Sampai akhirnya artikel pertama saya lolos kurasi. Berjudul “5 Alasan HarusPunya Pacar Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab" setelah itu, ada "Game Buat Jomblo."
Setelah itu, banyak artikel saya yang ngga lolos kurasi. Ngga usah hitung lah. Cukup banyak pokoknya.

Beberapa bulan setelah itu, Jombloo dot Co ngadain sayembara “Kapan Kawin.” Hadiahnya lumayan. Juara satu dapat bingkisan tiga buah buku. Salah satunya, bukunya Puthut EA, Cinta Tak Pernah Tepat Waktu. Worgh, siapa yang ngga mau buku dari penulis yang notabenenya udah dikenal luas dengan karya-karyanya.
Saya pun ikut, pengumuman cukup lama. Pengumuman juara sesuai postingan dengan hari yang telah ditentukan. Juara tiga diposting lebih awal, kemudian juara kedua, sampai dengan juara pertama.
Weh, saya bersyukur. Ternyata naskah saya lolos kurasi dan jadi juara pertama. 

Tulisannya bisa dibaca di sini. Dapat tiga buku! Buku pertama, yang saya sebut tadi. Kedua, buku terjemahan penerbit Dastan, terakhir, buku esai Puthut EA ‘Mengantar Dari Luar.’ Sebenarnya, saya sudah punya buku terakhir. Saya dapat dari situs minum kopi dot com sebab ada naskah saya yang pernah dimuat diwebnya juga.

Ada juga, yang paling terakhir, tulisan saya yang dimuat di Jombloo Dot Co mengenai Kak Isyana Sarasvati. Baca di sini 
Thanks! Gratis. Mweheheheh.


Hadiah dari dua situs berbeda

Baca selengkapnya

Jumat, 11 September 2015

Klub Semasa Kecil

Semasa kecil dulu, sepak bola adalah suatu permainan rutinitas saya yang tidak bisa saya tinggalkan. Sebelum pindah ke rumah saya yang sekarang di Tanak Awu, Lombok Tengah. Saya tinggal di perumahan milik Sekolah Dasar negeri Sintung Timur. Hampir, setiap hari saya bermain bola dengan teman-teman. Halaman sekolah terasa milik pribadi. Kalau tidak sore hari, saya rela berpanas-panasan main bola tepat di siang hari yang teriknya masyallahuakbar panas.

Di saat itu, saya merasa San Siro milik pribadi. Plus Giuseppe Meaza. Toh, itu kan satu stadion. Namanya doang yang beda.
Bola plastik yang harganya lima ribuan itu menjadi teman. Bola adalah teman. Seperti yang dibilang Tsubasa Ozora dalam film anime Captain Tsubasa. Hidup SD Nankatsu! Eh, ngomong-ngomong Nankatsu itu sekolah dasar negeri apa tidak?
Saat itu, saya masih duduk di kelas 1 Sekolah Dasar. Belum ada nama setenar dan secihui Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, atau Mbida Messi seperti sekarang. Liga Italia menjadi liga terbaik yang pernah saya tonton. Setidaknya, saya bilang begitu sebab cuma Liga Serie-A Italia yang pernah saya tonton.

Kecintaan saya pada sebuah klub sepak bola jatuh pada AC Milan. Beruntung banget, AC! Nama-nama pemain sepak bola saya tulis di setiap lembaran demi lembaran buku sekolah yang mereknya Sinar Akhirat itu. Dan kita mulai memproklamirkan diri sebagai pemain idola masing-masing.
“Saya Shevchenko!” Ujar saya dengan jersey AC Milan nomor punggung 7. Saya baru tahu akhir-akhir ini. Shevchenko itu dari Ukraina. Bukan Bangladesh seperti yang diceritakan kakak kelas dulu.
“Saya Toldo!” Teman saya tidak mau kalah. Ia jago di kiper, atau posisi penjaga gawang. Maka dari itu, ia sangat mengidolai Toldo, mantan kiper Internazionale kala itu.

Oleh sebab itu, jika kami berdua sedang latihan. Latihan free-kick atau penalty, di saat itu pula mini derby Della Madonia yang syarat gengsi sedang berlangsung. Sementara itu adik saya Gilang membakar lilin lima ratusan sebagai mini flare. Pokoknya syarat gengsi. Bagaiamana tidak, jika terjadi gol, maka dia (teman saya) harus push-up sebanyak tiga kali. Dan jika bola berhasil ditepis atau tidak masuk, maka saya harus push-up sebanyak  itu juga.

Selain bola, saya juga membeli poster sebagai syarat utama pengakuan dan pengukuhan sebagai seorang fans club sejati dari teman-teman. Saat itu, saya sungguh bahagia. Sangat bahagia. Mungkin, saat itu saya belum mengenal sepak bola lebih dalam seperti sekarang. Yang penuh dengan kebohongan! Suap dan tetek bengeknya.

Titik di mana saya merasa menangis pertama kali gara-gara sepak bola yaitu bukan karena SD Nankatsu kalah dari SD-nya Hyuga. Tapi ketika final piala dunia 2002. Padahal, pagelaran Piala Dunia tersebut tidak saya tonton dari fase grup sampai semifinal. Pas final, saya lihat pertandingan antara Jerman vs Brazil. Entah kenapa, saya langsung terpikat oleh Jerman. Sepintas melihat kiper Oliver- Khan dan langsung membuat saya jatuh cinta padanya, juga pada squad timnas Jerman yang lainnya.

Jerman kalah dua kosong di final. Saya menangis. Ronaldo jambul, bintang kemenangan Brazil berhasil membawa pulang piala dunia. Saya Menangis. Menangis kecil. Saya sungguh bersedih kala itu. Andai saja saya ada di stadion waktu itu, saya akan menerobos pengawalan petugas di pinggir lapangan, dan akan menghampiri skuad Jerman yang gagah berani itu. Kemudian menyapa dan memeluknya satu – persatu hingga mereka merasa agak mendingan.

Sejak saat itu saya yakin, Sepak Bola buka sekedar mencari gol dan merengkuh piala, tapi lebh dari itu. Sebuah kehidupan yang penuh warna. Membuat khlayak damai dan suatu kepuasan mental bagi penikmatnya. Cita-cita saya, semoga di suatu hari nanti, saya bisa menyaksikan Timnas Jerman berlaga di kandangnya. Bersama fans yang lain. Duduk di tribun tengah stadion. Mengenakan jersey putih yang menjadi ciri khas jersey kandang. Mengecat pipi warna hitam, merah, dan kuning. Ah, sungguh tidak nasionalisnya saya jika seperti itu.

Namun, kepuasan batin akan terealisasi saat itu juga. Saya tidak bisa membayangkan saat-saat seperti itu. DANKE!!!



                                                                                      

Baca selengkapnya