Kamis, 19 November 2015

Apresiasi Seni 2015 Mataram


Hai, kemarin, hari Selasa tanggal 17 November 2015 adalah salah satu hari bahagia saya. Ya, bagaimana tidak, dapat makan gratis, jajan gratis, kopi gratis, plus ketemu Mas Sulak aka AS Laksana. Salah satu sastrawan yang namanya sudah dikenal secara nasional. Selain beliau, ada beberapa sastrawan lainnya. Lokal dan undangan.

Eh, saya belum cerita, ini dalam rangka acara apa. Jadi, Kementrian Pariwisata bekerjasama dengan Museum Negeri NTB menyelenggarakan temu sastra yang dimana Lombok menjadi kunjungan ketiga setelah Lampung. Satrawan-sastrawan lain, selain Mas AS Laksana sendiri, ada Ahda Imran dari Bandung, Joko Pinurbo Yogyakarta, Kiki Sulistiyo Mataram, Sindu Putra Mataram juga, Wayan Sunarta Bali, dan Yusi Pareanom Jakarta.

Acara dimulai pukul 09.00 .

Demikian yang saya baca di banner besar depan Museum Negeri NTB. Tempat acara akan berlangsung. Wusss, setelah masuk mata kuliyah Metedologi Pendidikan Bahasa Arab, dan kebetulan dosen mata kuliyah kedua hari itu ngga hadir, saya langsung cus ke tempat.



Band Pembuka


Dedek-dedek yang khusuk mendengarkan

Baru nyampai, dan langsung ambil kotak jajan dan masuk ruangan. Ruangan sudah dipenuhi banyak tamu. Juga pagi itu saya disambut dengan penampilan dari salah satu band yang saya ngga tau namanya. Eh, ada yang kelupaan, kopi! Saya kembali keluar untuk mengambil kopi.


AS Laksana baca cerpen

Acara yang ditunggu-tunggu datang juga. Pembacaan karya sastra dari para sastrawan. Kebetulan Mas AS Laksana membacakan salah satu cerpennya hari itu. Kebanyakan sastrawan yang hadir pagi itu membaca puisi. Selanjutnya yaitu tanya jawab. Karena diberi kesempatan, saya mengacungkan tangan setinggi-tingginya sampai cewek di samping saya nutup hidungnya. Maaf, tadi ngga sempat pake deodorant.

Yang nanya banyak sekali. Kemudian para sastrawan menjawabnya.


Bincang hangat dengan Sastrawan

Kebanyakan inti dari pertanyaan ya, itu, kesulitan-kesulitan memahami karya sastra, dan juga kesulitan dalam menulisnya. Ada satu hal yang saya ingat benar dari Mas Sulak, intinya itu “Saya ingin menulis, sebaik dari penulis yang saya suka, atau lebih dari dia.”

Setelah itu, ada bagi-bagi souvenir berupa buku gratis untuk yang udah bertanya. Alhamdulillah,saya mendapatkannya setelah Mas As Laksana mengorbankan bukunya beberapa eks untuk dibagi kembali lantaran ngga tega buat ngasih ke beberapa penanya saja. Eh, setelah itu saya dapat tanda tangan plus foto bareng beliau.


Saya dan AS Laksana


Buku Gratis

Alhamdulillah, salah satu momen menyenangkan sebab dulu semasa MA hanya bisa membaca karya beliau tanpa pernah melihat wajahnya. Dapat ngobrol juga sehabis makan walau hanya beberapa kalimat. Ah, terima kasih Tuhan!
Dan terima kasih panitia, atas makanan prasmanannya. Maklum, mental gratisan dan asupan gizi anak kostan yang kurang membuat saya harus makan sebanyak-banyaknya.









Baca selengkapnya

Sabtu, 14 November 2015

BEHA with Roffie Khaliffa

Saya hampir lupa ini hari Sabtu. Dan seperti biasa, ada BEHA. Bencang Hangat. Oh ya, buat kalian yang belum baca BEHA sebelumnya, bisa dibaca di sini, sini, atau sini. Terakhir, ada di sini.

Sebelumnya, saya perkenalkan dulu siapa bintang tamu pagi hari ini. Namanya Roffie Khaliffa. Asli Tangerang, dan sudah melahirkan dua buah anak unyu. Hasil hubungannya dengan 2 penerbit berbeda. Status JOMBLO. Hoby baca buku dan baca pikiran orang. Jauh sebelum hari ini dia sudah kontak saya, “Kamu mau nge-BEHA-in aku, ya?”

Ofi lagi dzikiran

Tuh, hebat kan. Oke, langsung saja. Kebetulan dia datang ke rumah saya pagi sekali. Sebelum sholat Shubuh. Waktu itu saya sedang tidur, dia ketok pintu, setelah itu masuk ke ruang tamu dan duduk manis.

Beberapa waktu berlalu, saya keluar kamar berniat untuk sholat Shubuh. Eh, ngeliat dia. Ya saya ajakin sholat jamaah. Setelah itu kami duduk layaknya tamu dan pemilik rumah.
Saya masih malu-malu buat nanya. Tapi, setelah dia mengajukan diri, saya merasa nyaman.

Roffie : Kamu ngga nanya-nanya aku? Atau kamu yang mau ditanya?
Saya : Hmm, ya, saya mau nanya. Tapi...

Roffie : Tapi apa? Aku jauh-jauh datang ke sini buat ditanyain kamu loh. Aku capek, ngga ada orang yang nanyain kabar. Capek Mas, Capek!

Saya : Oke, apa kabar?
Roffie : Alhamdulillah, baik. Kamu sendiri bagaimana?
Saya : Saya? Wah, baik sekali. Eh gantian dong. Saya yang nanya, orang di sini saya pemilik rumah. Kuasa saya dong, ah. Setuju?
Roffie : Ya deh.

Saya : Hai, Ofi! Sudah tahu sedang ada di mana?
Roffie : Belum. Ini tempat apa sih?

Saya : Kamu lagi di rumah saya. Oh ya, perkenalkan diri dulu dong, sama pemirsa di mana pun berada.
Roffie : Camilannya dulu mana?

Saya : Itu, udah saya taruh di bawah meja. Kamu ngga peka. Buka sendiri ya. Itu khusus buat kamu kok.
Roffie : Ini ngga ada racunnya kan? Kayak di tv-tv gitu.

Saya : Ngga ada. Ayo. Perkenalkan diri.
Roffie : Baiklah. Halo! Aku Roffie Khaliffa. Khaliffa nama belakangku ini sama sekali ngga ada sangkutpautnya sama Wiz Khaliffa atau Mia Khaliffa kok. Soalnya banyak banget yang nanya, jadi sebelum ditanya aku jelaskan dulu. Oh ya, aku jomblo! Baru punya dua buku, yang kata orang sih dua-duanya buku galau. Apalagi ya?

Saya : Umur, domisili, dan golongan darah.
Roffie : Umur, baru kemarin 21. Domisili saat ini Pamulang, Tangerang Selatan, baru sebulan jadi anak kostan. Golongan darah O. Perlu nomor telepon juga? Barangkali mau transfer pulsa.

Saya : Pulsa itu apa? -___-“  Oke, skip. Udah tahu kepanjangan BEHA? Ini pertanyaan wajib untuk semua orang yang datang ke rumah.
Roffie : Kemarin sih tahu, sekarang enggak. Lupa, Pak.

Saya : Hufftzz. Udah nerbitin dua novel. Novel apa aja tuh. Bisa diceritain? Biar nanti yang lain ngga membuat pertanyaan tambahan. Waktu kita sedikit. *tiba-tiba seperti presentase dalam kelas*
Roffie : Iya, Alhamdulillah, ya. Sesuatu. Dua novelku settingnya sama-sama Italia. Sama-sama di Vience. Dan sama-sama terbit di tahun ini, tapi di bulan yang berbeda dan dengan penerbit yang juga beda. Novel pertama : Love In Italy. Terbit di bulan Mei 2015, dari penerbit Sheila Fiksi. Kalau novel kedua : Amore Mio. Terbit bulan September 2015 kemarin, dari De Teens.

Saya : Dua-duanya setting Italy. Ada kesan khusus  tentang negara yang satu ini?
Roffie : Hmmm. Sebelum bikin dua novel itu, kebetulan memang lagi jatuh cinta sama Italia. Terlebih, Veince dan Verona. Sampai novel pertama selesai, perasaan jatuh cinta itu belum usai. Jadi, aku memutuskan untuk membuat naskah lagi dengan setting yang sama, tapi dengan cerita yang beda. Walaupun ngga sedikit yang mengira novel keduaku ini adalah sekuel dari yang pertama.




Amore Mio via Blog Diva 

Saya : Moga bisa ke sana secepatnya ya! Untuk riset, makan waktu berapa lama, sih. Sama nunggu terbitnya berapa lama.
Roffie : Aamiin... riset untuk novel yang pertama cuma sebulan. Karena kau cuma ambil setting-setting Veince yang sudah mainstream, bisa ditemukan di banyak artikel dan blog. Kalau di novel kedua... Behh! Aku hampir hopeles perihal riset yang selalu dinilai kurang matang sama editor pembimbing. Sssst, jangan bilang-bilang ke Mba Nisrina Lubis, ya!

Saya : Lah, Mba Rina kemarin mampir ke rumah. Tapi ngga penting kok. Ayo lanjut.
Roffie : Penantian terbit untuk novel pertama sekitar nyaris dua tahunan. Beda sama yang kedua, cuma beberapa bulan.

Saya : Kok segitunya ya. Ngasih kabar ngga, tiba-tiba udah mau dua tahun, baru nongol. Andai pacar kayak gitu, tandanya minta disembelih, tuh.
Roffie : Hmmm. Aku sampai sudah mengoleksi 22 mantan dalam waktu penantian itu, lho.

Saya : 22 mantan? Itu dua kesebelasan tim sepak bola atau apa? Eh, harga novelnya berapa sih.
Roffie : 22 mantan (gebetan) tepatnya. Harga novel pertama 47 ribu. Kedua 40 ribu. Terjangkau kan? Yuk, diborong.

Saya : Punya waktu khusus buat menulis?
Roffie : Ngga ada. Aku bisa nulis kapan aja dan di mana aja. Tapi kalau waktu rutinnya sih malam-malam, sampai jelang dini hari. Itu biasanya kalau lagi nulis draft novel.

Saya : Hmm, ya, ya. Penulis  favorite siapa? Dan, saran buat penulis yang pengen ngambil setting luar negeri, apa aja.
Roffie : Punya dong. Nicholas Sparks! Hm, memakai setting luar negeri itu ngga mudah. Jangan dianggap sepele! Selain harus pintar membuat setting yang nyata, dalam artian bukan setting tempelan apalagi oplosan, kita juga harus pintar menyesuaikan suasana yang betul-betul suasana di suatu negara itu. Bukan misal, setting Italia tapi rasa Korea. Apalagi kalau mau membuat novel dengan tokoh non-Indonesia. Harus benar-benar riset bukan sekedar sterotype mereka di suatu negara mereka tinggal, tapi juga harus paham bagaimana pola pikir mereka dan kepribadian dilihat dari lingkungan mereka.

Saya : Hooh, oh, eh, tadi bilang Nicholas Sparks.  Dia masih ada hubungan darah ngga dengan Nicholas Saputra? Ini pertanyaan serius.
Roffie : Mereka saudaraan. Dulu, mereka terlibat cinta segitiga memperebutkan Dian Sastro. Sebab itu Sparks pergi dari Indonesia dan selalu bikin kisah-kisah galau, terinspirasi dari kegalauan karena Dian Sastro lebih memilih Saputra.

Saya : Kamu galau, nggak? Mau saya buat ngga galau lagi?
Roffie : Pfttz -___-“

Saya : Pernah ngalamin writer block? Kalau iya cara ngadepinnya bagaimana.
Roffie : WB? Aku ngga percaya sama WB, itu mitos. Yang ada itu kemalasan menyelesaikan naskahmu!

Saya : Santai, santai! Tenang. Minum air dulu. Tapi, sebelumnya saya mau masak aeeer.
Ofi tampak kesal gara-gara ditanyain tentang Writer Block.
Saya : Cara menggali ide itu bagaimana?
Roffie : Ide itu bisa datang kapan pun. Selalu bersiap aja kuncinya. Kapan pun ide datang, catat! Walau cuma satu kata.
Aku nulis cerpen dan prosa, biasanya. Tengok aja ke blogku, nih alamatnya.

Saya : Makanan kesukaan apa? Minuman juga apa?
Roffie : Aku suka semua makanan. Yang penting, no pake-pake kecap dan pisang! Kalau minuman, aku termasuk coffe addict.

Saya : Pisang? Padahal cewek-cewek biasanya suka pisang. Walau ngga dimakan. Eh, sampai mana tadi. Kopi ya? Kamu mau saya bikinin kopi?
Roffie : Mau, tapi aku ngga suka sama kopi luwak. Menurutku aneh rasa dan wanginya. Delivery’in Pizza sekalian.

Saya : Padahal, kopi luwak salah satu kopi kesukaanku.
Roffie : Kita memang tak jodoh, Mas!

Saya : Demi kamu, luwak saya tinggalin.
Roffie : Masa sih? itu buktinya masih asyik nyeruput kopi luwak.

Saya : Worrrgh, enak aja. Luwaknya udah saya buang. Weeek! Eh, kenapa cewek cepat marah kalau lagi PMS.
Roffie : Aku ngga kok.

Saya : Iya deh. Demi kamu. Apa pun itu. Aku rela.
*Cek jam tangan yang digantung di tembok*
Saya : Hm, udah pagi aja nih. Saya mau nganterin anak-anak. Bisa saya tanya lagi? Ini pertanyaan terakhir.
Roffie : Boleh.

Saya : Pesan dan saran untuk penulis pemula. Juga, tipsnya.
Roffie : Pesan dan saran buat kalian penulis pemula. Astaga! Diriku pun masih pemula. Gini, kalau mau jadi penulis, ya harus nulis! Bukan cuma berandai-andai. Kalau sudah nulis, ya selesaikanlah. Bukan tiba-tiba di tengah jalan sok ngeluh writer block. Hellow? Itu terjadi karena kalian ngga konsisten dengan naskah kalian. Yang terpenting, cinta dan perdalami dulu cerita yang pengen kamu buat sebelum mulai menulis kata pertama. Apa pun itu, kalau dikerjakannya dengan rasa cinta, hasilnya pasti indah.

Saya : Super sekalayyyu! Sebelum saya usir, ada kata-kata terakhir?
Roffie : Boleh aku bawa semua cemilannya? Buat cadangan di kostan.

Saya : Boleh! Boleh banget. Bungksunya ya. Isinya ngga usah. Hmmm, nunggu saya usir dulu baru pulang? Sana! Pulang.

Tanpa sepatah kata, Ofi pulang. Membuka pintu rumah. Berjalan ke arah timur – tepat ketika matahari baru menampakkan wajahnya. Dia semakin menjauh, dan kini tinggal bayangannya saja. Saya berlari mengejarnya, bukan apa-apa, sendal Sky Way-nya ketinggalan.
Terima kasih! J





Baca selengkapnya

Sabtu, 07 November 2015

BEHA with Devi Eka

BEHA hadir lagi. Seperti biasa, di hari Sabtu, saya posting segmen BEHA, Bencang Hangat. Tadi malam, saya berkesempatan tanya-tanya dengan salah satu penulis jomblo yang udah nerbitin 3 novel. Namanya Devi Eka!

Semalam, saya lagi duduk di dalam rumah, - tepatnya di ruang tamu. Tiba-tiba, ada yang minta tolong dari luar. Pas buka jendela, saya ngga liat apa-apa. Pas balik badan, tiba-tiba seseorang berdiri di depan saya. Saya bingung, mau minta tolong sama siapa. Akhirnya, dengan kesabaran dan ketenangan, saya mencoba memasuki pikirannya. Berharap ia juga memiliki kesamaan dengan kita. Minimal, bahasa kita sama.


Devi Eka yang doyan selfie dan selalu senyum

Saya : MMMMM... *Coba meniru Limbad*
Devi : Aku capek, Mas.

Ternyata dia masih sejenis dengan kita.

Saya : Oh ya, ada apa? Malam-malam ke rumah. Ngga pake ketok pintu. Pake suara aneh, emang lucu ya?
Devi : Maaf, Mas. Aku khilaf.

Saya : Yaudah, saya mau tidur dulu.
Devi : Loh, loh. Tanya-tanya dulu dong. Siapa tahu, kamu mau mengenal aku lebih jauh.
Saya : Ngga ah, males!

Devi cemberut. Ia tampak kesal. Ia mengambil remot kontrol dan mengunyahnya. Saya berbalik arah, kemudian menegurnya.

Saya : Ya udah. Kamu mau ditanya apa?
Devi : Terserah.

Saya : Ah, kamu. Terserah. Yaudah, kamu makan remot kontrol itu ya. Terserah juga lah ya.
Devi : Mmm, Mas. Maaf. Aku khilaf.

Saya : Kamu khilaf melulu. Kapan sadarnya?
Devi : Ini aku sudah sadar.

Saya mengambil tempat duduk yang nyaman. Menyalakan televisi.

Saya : Kamu kenal Joko Widodo?
Devi : Kenal, Mas.

Saya : Kalo Jokowi?
Devi : Hmmm, nggak. Garing ah, Mas. Tanya yang lain deh.

Saya : Oke, maaf. Bagaiamana kabarmu?
Devi : Aku masih jomblo.

Saya : Terus, penting gitu?
Devi : Penting dong. Selain itu, sekarang aku lagi ngincar cowok loh Mas.

Saya : Ya iyalah. Masak cewek.
Devi : Iya, begitu maksudnya.

Saya : Oke, skip. Sesuai kontrak wawancara ya. Kamu udah nerbitin berapa novel?
Devi : Saat ini, aku udah nerbitin 3 novel. Semuanya romance. Bisa dibeli di toko-toko buku terdekat.

Saya : Tapi, rumahku jauh dengan toko buku, bagaimana dong?
Devi : Ya, toko-toko buku terjauh dong ya.

Saya : Kamu garing, ya.
Devi : Iya, ehm, maaf.

Saya : Tunggu dulu ya. Saya mau pipis.

Lima menit kemudian, saya muncul dari balik jendela.

Devi : Kok kamu pipis lewat jendela, sih?
Saya : Biar feelnya masuk. Eh, ngapain tanya-tanya.

Saya : Judul novelmu apa aja?
Devi : The Love Is (not) Blue, Morning Gloria, sama Aku Menunggumu


The Love Is (not)  Blue 


Morning Gloria


Aku Menunggumu

Saya : Yang paling berkesan di antara semua novel yang pernah kamu buat yang mana?
Devi : Yang terakhir, Aku Menunggumu. Karena itu aku banget.

Saya : Jika kamu memiliki penggemar yang suka dengan tulisanmu. Buku apa yang kamu rekomendasikan  untuk mereka baca pertama kali?
Devi : Tergantung segmen pembacanya sih ya. Kalau remaja dan suka Korea baca aja yag The Love Is (not) Blue.  Kamu harus baca!

Saya : Gratis? Mau dong.
Devi : -____-“

Saya : Novel yang paling lama dibuat yang mana?
Devi : Yang paling lama tuh Morning Gloria. Tiga bulanan gitu.

Saya : Kamu udah punya me-time? Waktu yang buat kamu nyaman nulis.
Devi : Karena aku kerja, jadi biasanya sih jam 21.00 – 00.00 . Makin malam, makin nikmat imajinasi buat nulis.

Saya : Kerja apa? Pertanyaan ini boleh tidak dijawab.
Devi : Oke, aku ngga mau jawab.
Devi : Kamu punya kenaan cowok ngga, Mas?
Saya : Ngapain tanya saya? Kamu ngga berhak nanya-nanya.

Devi cemberut. Ia kembali mengambil remote kontrol. Tapi tidak mengunyahnya.

Saya : Ini penting nih. Bagaimana cara membagi waktu agar rutin menulis setiap harinya?
Devi  : Displin. Usahakan tiap malam nulis. Ngga harus di laptop, di buku pun bisa. Menulis itu untuk menuangkan uneg-uneg. Jadi, selesai nulis, bisa plong gitu. Diharapkan, pembaca yang abis baca karyaku bisa terhibur. Meski sambil berurai air mata.

Saya mengantuk.

Saya : Ada kata-kata terakhir?
Devi : Teruslah menulis. Meski dalam keadaan galau. Karena galau itu inspiraif.

Saya : Saya tidur dulu ya.
Devi : Aku tidu di mana?

Saya : Kamu pulang aja. Atau tidur di dekat jendela.

Saya masuk ke dalam kamar. Devi menengok halaman rumah lewat jendela.

Devi :  WEEEEKS! BAUK!!!

Sekian 







Baca selengkapnya

Rabu, 04 November 2015

Kampus Fiksi Part 4

Pagi di hari Senin.

Satu persatu berpamitan. Meninggalkan kami yang akan berpamitan juga. Saya masih duduk di dalam kamar. Jadwal keberangkatan masih lama. Paling lama di antara teman-teman yang lain. Awalnya satu, kemudian yang lainnya. Masih tersisa beberapa orang. Sepi. Hingga menyisakan Saya, Mei, Enca, dan Ofi. Ah, kok mereka sih. baru tiba di Jogja, orang pertama yang kukenal itu mereka. Sekarang, mereka lagi. PISS!!!

Jadwal keberangkatan jam 15.00 . Sedang mereka bertiga satu jam sebelumnya. Mereka minta saya pulang bareng mereka aja. Saya menyanggupinya.
Beberapa menit mengejapkan mata, pas lihat jam, udah jam 13.00 aja. Lah, kok piye sih? *gimana? Bagus kan bahasa Jawa saya*

Singkat, kami diantar Mas Kiki dan Mas Reza. Buat yang belum tahu, Mas Reza ini alumnus Kampus Fiksi 1, yang juga datang ke Jogja setiap diadakannya Kampus Fiksi. Loyalitas sekali bukan?


Mas Reza dan siapa mungkin saya tidak tahu

Tujuan pertama ke Stasiun Lempuyangan. Mengantar mereka yang tiga. Setelah itu saya ke Bandara Adi Sucipto. Nyampai di Lempuyangan, pamitan, dadahan, dan sedih-sedihan. Setelah itu Mas Kiki dan Mas Reza nganter saya. Singkat, kami tiba dengan barang bawaan yang cukup berat dan besar. Saya kewalahan.


Selamat Tinggal, Jogja :(

Sebelum check in, ada pegumuman. Pesawat tujuan Jogja – Makasar delay. Dan itu adalah pesawat yang akan terbang terlebih dulu sebelum pesawat Jogja – Lombok. Lah, saya kudu berdoa’ nih. Supaya pesawat yang saya tumpangi ngga delay. Alhamdulillah, lancar aja. Ngga delay pun.
Masuk pesawat pukul lima sore lebih beberapa menit, saya berada di tengah-tengah sekumpulan rombongan. Terlihat dari cara mereka yang akrab dan saling bersahutan.

“Hai Pak, asli Jogja?” sapa saya.

“Iya. Mas kuliah di Jogja?”

“Hehe, ngga. Saya ada pelatihan di Baturetno.”

“Pelatihan apa?”

“Pelatihan menulis, Pak.”

“Mau  jadi wartawan?”

Suara pramugari terdengar. Tolong, matikan handphone anda agar tidak mengganggu proses penerbangan. Saya lihat, bapak-bapak yang duduk dekat saya. Dia masih memainkan hape-nya. Kemudian memasukkan hape ke tasnya. WHAT THE DUCK? Hapenya masih hidup. Saya lihat juga ibu-ibu yang duduk di sampingnya. Dia malah asyik lihat-lihat foto. Sementara, pesawat akan terbang.
Di atas pesawat yang sudah terbang, saya cukup bosan. Saya mengambil buku yang mulanya saya mau baca di ruang tunggu tadi, Hanif.

Bapak yang duduk di sebelah saya meminjamnya sebelum saya membukanya. Ia tampak melihat-lihat.

“Ini bukunya Mas?”

“Bukan, itu buku orang tapi punya saya.”

“Lah, piye..”

Dia kembali membuka buku tersebut. Ia melihat-lihat lama alamat redaksi penerbit yang tertulis di halaman awal.

“Wah, kemarin saya ke Sampangan, Mas.”

Saya menjawabnya senyum.

“Saya suka bukunya, Mas.” Katanya setelah halaman terakhir kata pengantar.

“Iya Pak. Itu buku unsur religinya ada.”

“Iya.” Jawabnya. Ia kembali melihat daftar isi.

Pesawat akan mendarat, ibu-ibu yang duduk satu sejajar dengan saya membuka hapenya lagi. Saking kesalnya saya, saya tanya. Demi menjaga omongan yang baik dan menimbulkan persepsi yang ngga baik.

“Bapak pernah ke Lombok sebelumnya?” *Ini untuk memastikan mereka paham atau tidak pakai hape di atas pesawat itu ngga boleh*

“Pernah. Ini yang kedua kalinya.”

“Ini rombongan apa ya, Pak?”

“Ini rombongan yanmeg akan melaksanakan  tugas negara.”

Lah, tugas negara sih tugas negara. Tapi, kalau pesawat terpental itu juga bisa jadi masalah negara loh, Pak.

Singkat, kami akan sampai beberapa menit lagi.

“Sudah selesai...” Katanya.

“Selesai apa?”

“Selesai baca bukuya.” Ia ketawa.

Padahal, dari tadi setahu saya, ia hanya membaca daftar isi dan kata pengantar. Dan membolak-balikan buku.

“Bapak rombongan DPR, ya?” tanya saya heran.

“Bukan.” Ia mendekatkan mulutnya ke telinga saya. “Kami rombongan... Kong Kalikong.” Dan itu membuat semua rombongan tertawa lepas. Saya sendiri ngga  ngerti maksudnya apa.

“Mas, semoga jadi penulis. Nanti, kasih tahu saya kalau sudah punya buku.”

Dengan wajah malu, saya menjawabnya, “Inshaallah, Pak.” Tapi, lain kali, itu hape jangan dihidupin lagi ya. Terutama Ibu-ibu tadi.

Take off di Bandara Internasional Lombok, dan sudah ditunggu oleh Bapak dan Paman yang menjemput. Semua selesai .

Ada perjumpaan. Ada perpisahan yang sudah menjadi bagian darinya. Mengenal kalian adalah salah satu hal yang sangat berharga. Kelak, semoga saya bisa kembali ke sana. Bertemu dengan teman-teman baru. Keluarga baru. Gebetan baru”


Mendarat dengan elegan di Lombok

Terima kasih Pak Edi, Panitia, semua saudara baru. Kita luar biasa. Semoga dipertemukan kelak. Dan, jika salah satu dari kalian ke Lombok, jangan lupa hubungi saya. Terima kasih ilmu gratisnya, penginapan gratis, makanan gratis, cemilan gratis, dan saudara-saudara gratis. Oh ya, bukunya juga, GRATTTIS. J THANK YOU! SAMPAI JUMPA! 



Baca selengkapnya

Kampus Fiksi Part 3

Cemilan, kopi, teh, sudah menjadi bagian dari hidup kami di Jogja. Tanpa mereka, mana bisa kami hidup. *lirik perut masing-masing, sebab melirik perut orang itu kurang ajar*WKS

Jam 08.00, ada materi tentang keredaksian dari Mbak Munal. Tentang bagaiman naskah itu masuk. Naskah diterima, Alhamdulillah. Naskah ditolak, udah biasa aja. Cinta ditolak, makan naskah yang sudah ditolak. HAKK!



Mbak Munnal sedang menjelaskan

Sesi kedua setelah itu ada sharing dari Bang Ginanjar Teguh. Beliau alumnus KF13. Beliau menjelaskan banyak tentang proses menulis dan lainnya. Eh, Bang Ginanjar Teguh udah punya novel, judulnya Bulan Merah. Kami apa atuh, Bang! L Nulis diary setengah lembar aja ngga sanggup gara-gara diary-nya udah basah duluan.


Bang Gin

Bang Gin jadi pemateri selama satu jam. Setelah itu ada evalusi cerpen terpilih dan materi tentang state of mind, langsung dari Pak Edi. Dan cerpen yang terbaik adalah....

Ibu kita... Kartini Mbak Erin!  Selamat, Mba. Dapat baju basabasi.co , dapat fee. Mengalahkan cerpen Gus Mul aka Agus Mulyadi yang jadi panutan selama Kampus Fiksi. Yang ngga terpilih kayak saya, dan teman-teman lainnya, bagaimana kalau kita publikasikan cerpen kita masing-masing. Kita buat web, namanya basisekali.co . HAHA. Jadi, webnya berisikan naskah-naskah yang selalu ditolak dan banyak typonya. Colek mimin @KampusFiksi.


Pak Edi menjelaskan tentang state of mind

Jam 13.00 sampai 15.00, ada proses menulis novel sastra oleh Mas Makhfud Ikhwan. Kami lebih banyak tertawa ketika Mas Makhfud menjelaskan. Beliau bercerita mengenai novelnya. Apa saja yang menjadi tema besarnya. Proses menulis. Dan banyak yang lainnya.


Mas Makhfud. Penulis Kambing dan Hujan


Pak Edi dan Mas Makhfud

Setelah itu, sesi yang ditunggu-tunggu. Bimbingan menulis online dari Mbak Rina. Jadi, di sini ada bimbingan online bagi peserta yang ingin mengembangkan ide tulisannya menjadi sebuah novel. Nanti, bisa menghubungi Mbak Rina. Kalau mau ngajuin, kudu ikut Kampus Fiksi dulu. Ngga usah pusing masalah berapa bayaran tuk SPP-nya, cukup kirim cerpen kalau pendaftaran sedang dibuka.


Mbak Lubis, Nisrina udah tadi

Ishoma sampai pukul 19.00

Sesi ini adalah sesi yang tidak saya harapkan. Sesi penutupan oleh Pak Edi. Dan foto bersama. Penutupan, saya rasa ini bukan hal yang enak kedengarannya. Tiga hari bersama. Makan bersama. Mandiri bersama ngantri bersama, memiliki perasaan yang sama, tapi belum berani saling ungkap-mengungkapkan.

Kami harus berpisah dan kembali ke rumah masing-masing. Hidup seperti biasa. Meninggalkan Jogja, Kampus Fiksi yang selalu ada di hati. Berpisahan dengan saudara baru, gebetan baru, dan semua kisah tentang Kampus Fiksi yang kocak tapi serius.

Pak Edi membuat saya ingin meneteskan air mata. Tapi, setelah melihat yang lain biasa aja, air mata saya, harus saya tahan dulu. Barangkali, ada yang lebih dulu menangis, ternyata ngga ada. Menahan air mata memang sulit. Sama kayak nahan perasaan sama seseorang dan kitanya itu ngga pedean. Saya diam-diam menangis kecil. Sembari ketawa ngakak setelah melihat kerjaan Mimin @KampusFiksi yang menggelitik itu.
Pokonya malam itu adalah malam ketawa, sedih juga iya. Pokoknya asem garemnya perasaan dicampur jadi satu.


Kampus Fiksi angkatan 14 berpose manja dengan Pak Edi dan para mentor


Ini cuma bonus

Kelanjutannya ada di sini.



Baca selengkapnya