Alhamdulillah, berkat izin-Nya, tanggal 30 Oktober kemarin
saya akhirnya naik pesawat mengikuti pelatihan kepenulisan di Kampus
Fiksi, Jogja. Setelah cerpen saya yang berjudul Gadis Penjual Pulsa lolos
sebagai salah satu dari beberapa puluh orang yang dibagi adi beberapa angkatan.
Dan, hasilnya, saya masuk angkatan 14. Bersama dengan teman-teman lainnya.
Ini pengalaman pertama saya menginjakkan kaki di tanah Jawa.
Sampai 20 tahun ini, selalu di Lombok : Lahir di Lombok, TK di Lombok, SD di
Lombok, sampai diputusin di Lombok. *semua setting Lombok*
Ruang Tunggu Bandara Internasional Lombok
Saya tiba di Bandara Adi Sucipto dengan elegan. Di pesawat
duduk di dekat dua Om-Om yang murah senyum.
Welcome Jogja!
Singkat, setibanya di bandara, saya dijemput Mas Kiki yang
kocak itu, saya langsung dibawa ke asrama Kampus Fiksi di daerah Sampangan,
Baturetno. Lah, kok bisa ya, pagi itu mas Kiki pakai kaos hijau, saya pakai
sweeter hijau. Jangan-jangan.. Kita... jodoh sama-sama cenderung tenang dan
bertindak secara rasional. Iya, begitu kata artikel yang pernah saya baca di
google. Mana mungkin juga, kalau pakaiannya sama, terus dibilang jodoh. Lagi
pula, mas Kiki bukan tipe saya. Walau mas Kiki bisa jadi tipenya kayak saya.
Nyampe di asrama, sudah ada teman-teman yang lain. Mei,
Riri, Anisa, Ofi, sama Enca. Karena jauh hari sebelumnya saya sudah janji buat
jalan-jalan, ketika mereka ngajak buat keluyuran, saya sanggupin. Walau pantat
baru duduk beberapa menit.
Mas Kiki ngantar kami sampai tempat pemberhentian Bus Trans
Jogja. Ini juga pengalaman pertama saya naik kayak begituan. Saya sempat bingung
pas baru naik, “Ini kursinya di mana? Kok ngga niat banget naruh kursi tambahan.
Kasian kan yang ngga kebagian tempat duduk.”
Hari itu kami ke Kraton Yogyakarta. Melihat benda-benda
bersejarah dan juga antik. Ada beberapa tempat yang tidak boleh dipijaki, ada
juga yang tidak boleh untuk dijadikan sebagai objek foto.
Bersama anak-anak yang doyan foto
Setelah cukup lama di sana, kami memutuskan untuk ke Taman
Sari. Ini juga tempat bersejarah. Selama perjalanan sampai tiba di sana, saya
lebih banyak nyengir ngeliat kelakuan mereka yang kayak bocah : selfie
sembarangan di setiap tempat. Adzan sholat Jum’at, saya sholat di Mesjid yang
terletak di gerbang tempat masuk lokasi wisata ini.
Sebagai laki-laki yang lemah di hadapan para wanita, saya
manut aja waktu diajak mereka ke Beringharjo. Oh ya, ini pengalaman pertama
saya naik becak. Bayangin! Nemenin satu cewek buat belanja aja bikin bosan pala
berbie. Ini? berapa? Lima! Lima sekaligus. Dan saya hanya geleng-geleng kepala.
Malioboro, Jogja
Makan siang di salah satu warung kecil. Yang jadi masalahnya
bukan rasanya yang ngga enak. Ini lebih ke suasana. Baru niup air bakso yang
masih panas, tiba-tiba datang dua cowok. Tanpa request, mereka nyanyiin lagunya
Ebiet G. Ade, “Perjalanan, ini terasa sangat menyedihkan, sayang engkau tak duduk
di sampingku kawan.” Kami ngasih duit. Mereka pergi. Baksonya baru masuk mulut,
lagi ditelan, datang lagi dua orang. Satu cowok dan cewek. Tanpa komando, lagu
Bang Iful dibawakannya“Jangan bilang-bilang, kita berpacaran. Jangan bilang-bilang,
nanti ketahuan...” Keluarin duit, mereka pergi. Lajut makan. Bakso terakhir,
datang lagi, “Bapak Ibunya telah lama mati. Ditelan becana tanah ini.” Loh, ini
bukannya udah tadi ya? Yang datang pertama tadi. Mereka bingung. Mereka malu
dan pergi. Walah, ini pengamennya udah punya rute tertentu. Kayak trans Jogja
kali yak!
Skip kami balik ke asrama setelah melakukan tawar-menawar
yang alot dengan supir taksi~
Pas balik, sudah ada beberapa teman. Ahmad Muhtarom yang
kalo ngomong lebih banyak logat Jawanya. Padahal lagi ngomong sama saya. Satu
persatu teman datang. Sampai lengkap berjumlah 21 orang peserta.
Malam pertama pembukaan. Langsung dari Pak Edi Mulyono. Ceo
Diva Press, rektor Kampus Fiksi, penjaga
basabasi.co. Setelah pembukaan, ada penyerahan member card yang diwakili Mas
Ibnu Majah. Namanya keren kan? Kayak perawi gitu.
Pak Edi Mulyono
Ada juga sesi brainstroming dan presentase ide dari Mbak
Rina. Masing-masing peserta diperintahkan menyebut salah satu novel dari
penulis terkenal yang pernah dibaca. Malam itu, saya sebut Cinta Tak Pernah
Tepat Waktu. Karya Puthut EA. Setelah itu, kami diperintahkan untuk menulis
ulang pokok-pokok ceritanya dan mempresentasikannya di depan. Diwakili oleh lima
orang saja.
Mbak Nisrina Lubis
Acara di sesi pertama pun selesai~
Bagian kedua, bisa dibaca di sini.
Bagikan
Kampus Fiksi Part 1
4/
5
Oleh
Muhammad Getar