Rabu, 04 November 2015

Kampus Fiksi Part 1

Alhamdulillah, berkat izin-Nya, tanggal 30 Oktober kemarin saya akhirnya naik pesawat mengikuti pelatihan kepenulisan di Kampus Fiksi, Jogja. Setelah cerpen saya yang berjudul Gadis Penjual Pulsa lolos sebagai salah satu dari beberapa puluh orang yang dibagi adi beberapa angkatan. Dan, hasilnya, saya masuk angkatan 14. Bersama dengan teman-teman lainnya.

Ini pengalaman pertama saya menginjakkan kaki di tanah Jawa. Sampai 20 tahun ini, selalu di Lombok : Lahir di Lombok, TK di Lombok, SD di Lombok, sampai diputusin di Lombok. *semua setting Lombok*


Ruang Tunggu Bandara Internasional Lombok

Saya tiba di Bandara Adi Sucipto dengan elegan. Di pesawat duduk di dekat dua Om-Om yang murah senyum.


Welcome Jogja!

Singkat, setibanya di bandara, saya dijemput Mas Kiki yang kocak itu, saya langsung dibawa ke asrama Kampus Fiksi di daerah Sampangan, Baturetno. Lah, kok bisa ya, pagi itu mas Kiki pakai kaos hijau, saya pakai sweeter hijau. Jangan-jangan.. Kita...  jodoh sama-sama cenderung tenang dan bertindak secara rasional. Iya, begitu kata artikel yang pernah saya baca di google. Mana mungkin juga, kalau pakaiannya sama, terus dibilang jodoh. Lagi pula, mas Kiki bukan tipe saya. Walau mas Kiki bisa jadi tipenya kayak saya.

Nyampe di asrama, sudah ada teman-teman yang lain. Mei, Riri, Anisa, Ofi, sama Enca. Karena jauh hari sebelumnya saya sudah janji buat jalan-jalan, ketika mereka ngajak buat keluyuran, saya sanggupin. Walau pantat baru duduk beberapa menit.
Mas Kiki ngantar kami sampai tempat pemberhentian Bus Trans Jogja. Ini juga pengalaman pertama saya naik kayak begituan. Saya sempat bingung pas baru naik, “Ini kursinya di mana? Kok ngga niat banget naruh kursi tambahan. Kasian kan yang ngga kebagian tempat duduk.”
Hari itu kami ke Kraton Yogyakarta. Melihat benda-benda bersejarah dan juga antik. Ada beberapa tempat yang tidak boleh dipijaki, ada juga yang tidak boleh untuk dijadikan sebagai objek foto.


Bersama anak-anak yang doyan foto

Setelah cukup lama di sana, kami memutuskan untuk ke Taman Sari. Ini juga tempat bersejarah. Selama perjalanan sampai tiba di sana, saya lebih banyak nyengir ngeliat kelakuan mereka yang kayak bocah : selfie sembarangan di setiap tempat. Adzan sholat Jum’at, saya sholat di Mesjid yang terletak di gerbang tempat masuk lokasi wisata ini.

Sebagai laki-laki yang lemah di hadapan para wanita, saya manut aja waktu diajak mereka ke Beringharjo. Oh ya, ini pengalaman pertama saya naik becak. Bayangin! Nemenin satu cewek buat belanja aja bikin bosan pala berbie. Ini? berapa? Lima! Lima sekaligus. Dan saya hanya geleng-geleng kepala.


Malioboro, Jogja

Makan siang di salah satu warung kecil. Yang jadi masalahnya bukan rasanya yang ngga enak. Ini lebih ke suasana. Baru niup air bakso yang masih panas, tiba-tiba datang dua cowok. Tanpa request, mereka nyanyiin lagunya Ebiet G. Ade, “Perjalanan, ini terasa sangat menyedihkan, sayang engkau tak duduk di sampingku kawan.” Kami ngasih duit. Mereka pergi. Baksonya baru masuk mulut, lagi ditelan, datang lagi dua orang. Satu cowok dan cewek. Tanpa komando, lagu Bang Iful dibawakannya“Jangan bilang-bilang, kita berpacaran. Jangan bilang-bilang, nanti ketahuan...” Keluarin duit, mereka pergi. Lajut makan. Bakso terakhir, datang lagi, “Bapak Ibunya telah lama mati. Ditelan becana tanah ini.” Loh, ini bukannya udah tadi ya? Yang datang pertama tadi. Mereka bingung. Mereka malu dan pergi. Walah, ini pengamennya udah punya rute tertentu. Kayak trans Jogja kali yak!

Skip kami balik ke asrama setelah melakukan tawar-menawar yang alot dengan supir taksi~
Pas balik, sudah ada beberapa teman. Ahmad Muhtarom yang kalo ngomong lebih banyak logat Jawanya. Padahal lagi ngomong sama saya. Satu persatu teman datang. Sampai lengkap berjumlah 21 orang peserta.
Malam pertama pembukaan. Langsung dari Pak Edi Mulyono. Ceo Diva Press,  rektor Kampus Fiksi, penjaga basabasi.co. Setelah pembukaan, ada penyerahan member card yang diwakili Mas Ibnu Majah. Namanya keren kan? Kayak perawi gitu.


Pak Edi Mulyono

Ada juga sesi brainstroming dan presentase ide dari Mbak Rina. Masing-masing peserta diperintahkan menyebut salah satu novel dari penulis terkenal yang pernah dibaca. Malam itu, saya sebut Cinta Tak Pernah Tepat Waktu. Karya Puthut EA. Setelah itu, kami diperintahkan untuk menulis ulang pokok-pokok ceritanya dan mempresentasikannya di depan. Diwakili oleh lima orang saja.


Mbak Nisrina Lubis

Acara di sesi pertama pun selesai~

Bagian kedua, bisa dibaca di sini.




Bagikan

Jangan lewatkan

Kampus Fiksi Part 1
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.