Cek cek… terima kasih *ambil mic*
Assalamualaikum…
Jadi, kemarin, saya dan dua kawan
nonton Sabtu Bersama Bapak . Sebuah film yang diangkat dari novel Adhitya Mulya
dengan judul yang sama. Saya ngga bakal nyeritain bagaimana dan apa yang
saya lakukan bersama teman-teman selepas nonton. Entah itu nangis di pojokan,
atau nangis tiap malam minggu karena udah kebiasaan, nggak! Saya cuma akan
menggabungkan apa yang saya tonton dari film ‘Sabtu Bersama Bapak’ ini,
dengan apa yang saya rasakan menjadi anak dari bapak yang kadang ketemu di hari
Sabtu, terkadang juga ngga ketemu karena saya malas pulang dari kostan.
Oke, baiklah, saatnya serius.
Sabtu Bersama Bapak, adalah film
pertama yang saya tonton di bioskop. Oke, jangan ngejek dulu, bisa ditahan kan?
Film ini dibalut kisah romantis, sedih, dan komedi tentunya. Berbeda dengan
saya yang sedihnya lebih banyak, tanpa drama ataupun komedi. Kalaupun ada, itu
cuma komedi yang dipaksakan. Ya, tau sendirilah. Apalah hidup tanpa tersenyum
dan tertawa.
Film ini, saya tidak tahu durasinya berapa lama, karena ngga bisa pencet enter kayak di laptop teman
yang sering saya pinjami buat nonton film bajakan. Film ini mampu menguras
emosi saya, berdebar, dan tentu saja diporak-porandakan. Terlebih, di scene
menonton rekaman ayah setiap minggunya. Di sini saya menitikkan air mata. Di
scene awal, saya hampir menangis, dan apa yang saya tonton seakan-akan, saya akan
merasakannya pada waktu yang sangat dekat. Sangatlah dekat. Saya sendiri tak tahu, setiap pesan yang
terdengar di telinga saya dari orangtua cenderung lebih cepat masuk di kepala.
Apalagi diucapkan dengan nada lirih, teduh, dan sedikit backsound suara
piano romantis.
Kemudian, setelah memasuki inti
cerita. Saya datar, saya tak merasakan sesedih apa yang saya rasakan di awal
tadi. Sesekali, ada adegan yang kembali memainkan emosi saya, tapi terkadang
terselip komedi yang membuat saya kembali cerah.
Dan beginilah Sabtu Bersama Bapaknya
Getar dan saudara-saudaranya – jika digabungkan, tepatnya dimirip-miripkan
dengan film Sabtu Bersama Bapak….
Sabtu bersama bapak, adalah sebuah
keluarga yang terdiri dari seorang ayah, ibu, dan dua anak laki-laki yang menjadi
pemanis keluarga. Mereka hidup rukun, makmur (kayak masyarakat), tawa renyah,
dan kemesraan antar suami istri dan tentunya anak-anak, melengkapi kehidupan
mereka yang sempurna. Sempura sekali. Namun tidak, setelah ayah didiagnosa
kena penyakit kanker dan umurnya harus terhenti di tahun depan. Lantas, untuk
menyampaikan pesan-pesan yang tentunya tidak bisa ia sampaikan kelak pada anak-anaknya,
ayah merekam video – pesan-pesan dan nasihat untuk anak-anaknya yang ditonton
setiap Sabtu. Begitu terus menerus hingga kasetnya habis. Latarnya bagus, di
Bandung, Jakarta, dan Paris. Yes, Paris. Ibukota Prancis – yang kemarin kalah
sama Portugal di final Piala Eropa. Eh, sampai mana tadi?
Terus kenapa dengan bapak saya???
Bapak saya, punya satu istri dan semua
anak-anaknya laki-laki. Bedanya, anak bapak ada empat. Empat! Tinggal nambah
enam orang udah buat kesebelasan yang siap nyaingin Persija Jakarta. Maaf, kok
main-main lagi. Jadi begini …
Ramadhan, 2013…
Tangis menderu di setiap sudut rumah.
Anak-anaknya menangis, istrinya mencari bantuan dari tetangga sekitar. Dua
anak, si sulung dan nomor dua menangis di sela-sela istigfar bapaknya.
Si bungsu malah asyik memainkan hape – yang saat itu umurnya baru
menginjak sekitar 4 tahun. Anak ketiga tak tahu, ia sedang sekolah di sebuah
pondok pesantren. Dan memberitahu nya
adalah salah satu cara untuk membuat kerumitan.
Wajah mereka berair, tepatnya terus
menerus menumpahkan air mata. Beberapa orang, dari tukang urut sampai perawat
yang rumahnya tak jauh dari rumah juga dijemput, namun bapak tetap meronta
kesakitan. Sesekali memegang pundaknya, melafalkan tahlil terus menerus.
Mengaung, membangunkan tetangga sekitar. Tak sanggup menegakkan badan. Terus
menerus menghadap bawah, dan beberapa kali, di sela-sela tangisan anak-anaknya,
ia berujar “Umurku sudah tak lama lagi…”
Waktu sahur tiba, makanan belum siap. Hanya
gelas-gelas kosong yang ada di meja. Ibu tidak memasak karena sibuk mengurus
suaminya. Anak-anak tidak protes – mengerti keadaan. Pagi itu, selepas sholat
shubuh, ia dibawa ke rumah sakit. Dan langsung dibawa ke ruang ICU. Bapak
divonis penyait yang mirip dengan kanker – kita tak tau sejauh mana umur
penyakit itu akan bertahan. Sang bapak kena penyakit jantung. Sama halnya dengan
film Sabtu Bersama Bapak, yang memberitahu anak-anaknya jika umurnya tak lama
lagi. Begitu juga dengan bapak, yang selalu bilang, “Saya tidak tahu, umur
sampai kapan…. Kalian harus tetap akur. Jangan bertengkar. Semua bisa
diselesaikan dengan kepala dingin.” Pesan bapak. Dan bapak itu, bapak saya.
Sampai hari ini, bapak sesekali
mengeluhkan sakit, kelelahan, dan pegal di beberapa anggota badannya. Semoga
umur beliau tak secepat “Sabtu Bersama Bapak”, walau pesannya selalu disampaikan
hampir di setiap kali duduk berdua. Sebab, saya tidak ingin sabtu bersama
bapak. Karena masih banyak hari-hari lain, dan hari-hari yang selalu ditunggu
kedatangannya.
“Ketika adegan
ayah ibu dengan anak-anaknya, saya selalu merasakan emosi yang mengencang dalam
film tersebut. Tapi, tidak melulu soal itu juga. Dengan membayangkan ibu dan
bapak saja, sekalipun saya sedang tidak berbuat apa-apa, mampu membuat saya
menangis seketika. Banci? Tidak kok. Entah kenapa, kata ayah dan ibu adalah
kata-kata sahdu bagi saya. Terlebih, mengingatnya setelah merasa telah berbuat
kesalahan. Sekali ingat, mewek seketika.”
"Menjalin
hubungan itu butuh dua orang yang kuat. itu adalah tanggung jawab
masing-masing" – (Sabtu
Bersama Bapak) #RinduAyah
BTW, film ini sebaiknya ditonton.
Banyak pesan moralnya.
Lebaran Bersama Bapak
Bagikan
Tentang Sabtu Bersama Bapak Buat Saya
4/
5
Oleh
Muhammad Getar
1 komentar:
Tulis komentarmewek sambil ketawa tar..renyah juga :D
Reply