Sudah lama
berteman di facebook, tapi saya belum pernah sama sekali menegurnya
secara langsung. Baik lewat komentar di status atau lewat pesan inbox.
Saya sering ngakak dibuat gara-gara statusnya, juga tulisan-tulisannya yang
dipajang di blog pribadinya. Haris Firmansyah, demikian nama penulis
yang sejauh ini sudah menerbitkan lebih dari lima buah judul buku.
Saya pun
sering bertanya-tanya, kenapa nama akun facebooknya waktu itu Hirawling.
Saya tahu arti Hirawling setelah beberapa hari berkenalan dengannya di grup WA.
Tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan, melainkan bagaimana cara saya menjadi
pengoleksi buku-bukunya.
Sekitar
pertengahan tahun lalu, Haris posting foto yang ‘kalau tidak salah’, dan
‘khilaf’ saya, dia bilang :
PO novel
komedi terbaru saya, Wrecking Eleven. Bagi yang juga membeli buku saya
sebelumnya, 3 Koplak Mengejar Cinta, maka akan saya tambahkan satu buku lagi
sebagai bonus. Khsusus untuk 7 pembeli pertama.
Tentu saya
tertarik, selain suka baca buku komedi, saya juga penggemar sepak bola. Itu
salah satu hal yag membuat saya tertarik dengan novel komedi yang satu ini.
Saya konsultasi
dengan Ibu. Nanya ada uang di rekening atau tidak. Alhamdulillah, ada. Akhirnya
saya menguhubungi Haris via inbox facebook. Nanya harga kedua buku
tersebut. Begitupun dengan bonus yang dijanjikan. Tanpa ragu, saya jawab, mau
bonus apa? “Ya, bonus bukumu yang sebelumnya.” Jawab saya tanpa ragu.
Keesokan
harinya, setelah diberi tahu jumlah yang harus saya transfer begitu juga dengan
rekeningnya, saya ke ATM yang ada di Pertamina dekat Bandara.
Pertamina Depan BIL
Lima menit
perjalanan, saya tiba. Kebetulan ATM sedang sepi, saya masuk dan membuka handphone.
Mencari nomor rekeningnya.
Anjrit! Saya
lupa di mana memasukkan kartu ATM. Sumpah! saya sampai kebingungan sendiri di
dalam. Sementara itu, ada bocah seumuran saya yang sedang menunggu di luar.
Saya cari lagi, ngga ketemu. Ini lubangnya di mana, sih. Lalu, saya minta tolong
ke bocah tadi.
“Mas, ini
lubangnya di mana? Bisa minta tolong?’
Ia tersenyum
lalu memasukkan kartu ATM. Semua berjalan lancar. Saya memasukkan kode PIN
tanpa menaruh rasa curiga. Laki-laki tadi masih berdiri di samping saya.
Seolah-olah menjadi penyemangat saya. Saya rasa, wajar saja saya lupa. Soalnya,
ini kali kedua saya masuk ruang ATM. Terakhir, beberapa bulan yang lalu.
Ketika hendak transfer,
transakasi gagal sampai tiga kali. Saya kesal. Dan juga malu sama orang yang
tak saya kenal berdiri di samping saya.
“Mungkin salah
nomor rekening tujuan...” Ucapnya.
“Ngga kok!”
Sahut saya. Saya beranggapan, kalau mesin ATM sedang rusak. Saya pun berpamitan dan meninggalkannya.
Setelah itu,
saya kembali mencari ATM ke arah barat jalan. Siapa tahu ketemu, tapi tidak
ada. Mau masuk bandara, ah, mungkin ATM-nya rusak juga. Saya pun memutuskan untuk
pulang saja.
Sampai rumah,
saya tak tahan. Saya bergegas kembali ke kantor BR* yang ada di kecamatan sana.
Sepuluh menit saya sampai. Saya tidak masuk langsung. Saya membuka browser di gadget.
Mencari pertanyaan di google dan pada yahoo answer yang mungkin
bisa menunjukkan jalan keluar. Semuanya tepat. Tidak ada satu kesalahan pun.
Kode kirim juga tepat. Saya masuk ke ATM.
Di ATM kali
ini, ngantrinya cukup panjang. Saya masuk sekitar lima menit setelah menunggu. Di
belakang saya juga banyak orang. Di dalam ATM, tak lupa saya berdoa. Lagi-lagi,
gagal. Saya hampir pasrah. Sebenarnya siapa yang salah? Saya atau BR*?
Saya belum
meninggalkan tempat. Masih berkutat dengan mesin ATM. Ingin sekali rasanya,
kalau dia paham dengan apa yang saya katakan, pengen tak umpatin! Maumu apa
sih, ATM!
Saya gagal.
Kali ini saya berfikir, mungkin saldo di kartu ini tidak cukup. Oleh sebab itu
tidak bisa transfer? Saya coba tarik lima puluh ribu. Dan berhasil. Jadi, siapa
yang salah kali ni? Saya keluar dari mesin ATM dengan muka masam. Di luar sudah
banyak orang. Saya malu karena terlalu lama. Bocah kecil yang sedang duduk
dengan ibunya bilang, “Lima puluh ribu.” Saya cuma diam dan pulang dengan
cepat.
Saya
menghubungi Haris. “Ris, bagaimana nih.” Saya sempat mikir, ini yang
rusak kayaknya saya. Iya, Saya. Haris menyarankan saya untuk langsung datang ke
kantor BC* saja. Dan itu hanya ada di Kota Praya, kabupaten Lombok Tengah. Saya
menyanggupinya, dan rencananya akan pergi keesokan harinya karena hari itu
tidak memungkinkan.
Mandi,
parfuman, cek STNK, KTP, dan SIM, saya berangkat dengan riang.
Setengah jam
lebih, saya sampai kantor BC*. Dan dipersilakan masuk oleh Mas Satpam yang baik
hati. Saya naik ke lantai dua. Di sana, sudah banyak yang transfer uang.
Lagi-lagi saya harus antri. Seorang Ibu-ibu tua menyapa saya, saya jawab dengan
tenang dan ngobrol kecil. Saya mengisi slip yang harus diisi. Saya kikuk.
Ini pengalaman saya transfer uang dan masuk kantornya langsung. Saya sampai
nanya-nanya sama orang yang kebetulan lewat di depan saya.
Akhirnya saya
mendapat giliran. Saya maju perlahan. Dan memberikan slip beserta uang tunai
yang akan ditransfer.
“Cuma segini?”
Jujur, saya
tersinggung waktu itu. Ya, transfer memang dikit, setidaknya Mas itu tidak
bilang gitu. Semoga sehat selalu, Mas! Tiba-tiba....
“Mas, maaf,
nomor rekeningnya salah.”
“Coba cek ulang.”
Masnya kembali
mengecek. Dan tetap salah.
BAH! Uang saya
dikembalikan. Saya hanya bisa menatap slip pembayaran tersebut. Lalu
membuangnya. Saya mengirimi Haris pesan. Nomor rekening yang dikirimnya salah
atatu tidak.
Saya pulang.
Tiba di rumah,
Haris membalas pesan saya. Saya tanya-tanya kembali, lagi-lagi dijawab benar.
Eh, tiba-tiba Haris bilang nomor rekening yang ia kasih salah. Saya hampir pingsan.
Sore harinya, saya ke ATM di kecamatan. Dan proses transfer lancar jaya.
Paket tiba
sekitar 3 – 4 hari, saya lupa. Saya ke kantor POS karena petugas Kantor POS
sini ngga pernah ngasih barang sampai alamat. Cuma telepon, lalu kita
sendiri yang ngambil barang. Buku sampai, saya baca, saya terpingkal, semua
kekesalan saya terlunasi. Apalagi, buku yang dijadikan bonus itu ceritanya
hampir mirip dengan cerita yang pernah saya alami. Yak, buku pertamanya yang
diterbitin di mayor.
Buku Haris
sudah saya baca. Ketiganya sudah habis. Tapi saya selalu mengirimi Haris inbox
buat tanya-tanya seputar harga bukunya yang lain. Ada dua buku fiksinya yang
lain. Yang belum saya miliki. Tentu, masih dengan genre komedi. Cireng Forever
dan Nyengir Ketupat. Saya tanya harganya, tapi saya tidak beli. Belum ada uang.
Dan waktu itu saya lupa. Seingat saya, waktu itu
saya baru pulang dari Mataram. Ketika saya tanya Ibu, ada uang di rekening atau
tidak? Beliu jawab ada. Saya kembali mengontak Haris untuk menanyakan bukunya
yang sempat saya tanyakan dulu. Nanya dua kali. HEHE
Saya ke ATM, dan transfer duit. GAGAL! Ini
siapa yang salah? Kok saya sial mulu sih. Alih-alih menyalahkan mesin ATM lagi,
ternyata saldo ngga cukup. Ah, ya sudahlah, akhirnya saya pesan buku Cireng
Forever doang.
Sampai sini, ada pertanyaan? Kalau tidak ada,
saya mau lanjutkan.
Cireng Forever belum sampai. Sampai lima hari
belum sampai-sampai juga. Biasaya Pak Pos telepon. Tapi kali ini tidak. Saya
tanya Haris, dia jawab konfirmasi pengiriman paket sudah sampai. Saya pun ke
Kantor POS dan nanya ada paket atas nama saya atau tidak. Alhamdulillah, ada. Saya tanya, kok tidak ada telepon? Beliau
jawab, pernah telepon saya. Ah, tapi kok saya tidak tahu? Bilang saja ngga
pernah. Ngga penting sih. Oke, lanjut.
Cireng Forever di tangan dan saya
terpingkal-pingkal lagi.
Cukup lama, setelah itu, saya dikenalkan oleh Haris
ke teman-temannya. Di sebuah grup WA. Kebetulan, waktu itu saya sudah uninstall
WA, tapi saya install lagi. Namanya grupnya Hirawing Kingdom. Saya
berkenalan, mencoba menjadi bocah yang baik, dan sebagian orang di grup itu
keluar setelah masuknya saya. *ini becanda tapi beneran*
Nasib mujur.
Saya diperkenalkan dengan oang-orang baik di sana. Di grup itu pula, Haris
sempat buat battle Duel Otak yang hadiahnya itu salah satu bukunya. Saya
bersemangat buat ikut. Sayang, saya kalah. PFTTT sekali.
Kemudian, saya
kenal dekat satu persatu dengan mereka. Salah satu yang kenal dari mereka, nama
akunnya Arista Devi. Awalnya saya panggil dia Mbak untuk menghormati. Tapi, ia
bilang panggil Bibi saja. Yowes, saya panggi Bibi.
Lalu, saya curhat
ini itu dengan Bibi ArDev, banyak sekali. Begitu juga dengan kesukaan saya
degan buku-buku Haris. Bibi yang baik hati itu pun dengan senang hati
membelikan saya. Awalnya saya menolak. Iya, paham lah ya. Ini sebenarnya cuma
modus. Aslinya sih pengen banget mah dibeliin. HAHAHA...
Lengkap sudah
buku Haris yang saya punya. Setidaknya untuk waktu itu.
Bibi, kalau
Bibi baca ini. Terima kasih banyak. Awalnya saya lebih nyaman panggil Mbak.
Untuk menghormati, atau dengan panggilan Kakak. Sudah lama saya ingin punya
kakak perempuan yang bisa menasehati saya, atau apalah. Tapi ngga mungkin juga,
kan? Kalau adik, mungkin bisa. Tapi ibu saya sudah trauma, pernah niat punya
anak perempuan. Eh, yang nongol laki semua. Empat lagi. Empat! Sekali lagi,
empat! Dan sekarang saya sudah biasa manggil Bibi. Semoga sehat selalu di
perantauan!
Lanjut...
Sekarang,
buku-buku Haris laris manis di rak lemari saya. Tentu, laris buat dipinjam. Ada
tiga buku di sepupu untuk saat ini, ada dua baru kembali ke pangkuan saya setelah
dipinjam adik. Satu lagi entah bagaimana nasibnya, mungkin dipinjam atau apa,
saya lupa. Ah, saya memang pelupa.
Ngomong-ngomong,
Haris sudah punya buku baru lagi ya? Ah, semoga saya cepat punya biar bisa mengumpulkan
semuanya. Memotretnya, lalu membuatkannya foto album keluarga. Semoga! Setelah itu, saya akan bilang kepada
mereka : “Dik! Maaf! Bapakmu tidak sempat ikut foto. Bapakmu ada di Cilegon
sana. Ibumu? Ah, saya lupa. Terlalu banyak.” WKS!
Sekali lagi,
thanks Haris. Katanya, Haris ini ngefans berat sama Raditya Dika, ya?
Tapi, saran saya, jangan mau jadi the next Raditya Dika lah ya. Biar orang yang
bilang kalau dia pengen jadi the next Haris saja. Oke, wasallam!
Menunggu Saudara Pulang
Bagikan
Bagaimana Saya Mendapatkan Buku Haris Firmansyah
4/
5
Oleh
Muhammad Getar
4 komentar
Tulis komentarItu beneran Mbak-mbak tellernya bilang "Cuma segini?" #ehabaikan
ReplyGetar, kamu keren!
ReplyUdah abaikan aja mbak teller itu. Yang penting kamu udah berhasil ngoleksi. :D
Salam buat ibu ya. Ibumu keren juga, dukung kamu ngoleksi apapun dari idolamu. >.<
Waduh, jadi gak enak nih. Gara-gara no reknya ngetik ulang, jadi ada angka yang salah pas diketik. Harusnya saya copas. My bad.
ReplySayang banget ini fotonya kurang lengkap. :D
Tapi saya akui usaha Getar mengoleksi 7 buku saya sama kerasnya dengan Goku mengumpulkan 7 biji naga. :D
Padahal tellernya cowok. Itu dua orang yang komen di atas pada ngira cewek ya...
ReplyNah, tar. Bikin lah karya juga kamu. Biar ada juga orang yang berupaya keras untuk mengumpulkan semua karyamu. Kayak kamu begini.
*nyengir