Kamis, 28 Juli 2016

Air Terjun Benang Kelambu



doc pribadi

Setelah sekian lama mojok di kamar kostan, saya akhirnya bisa menghirup udara segar di alam terbuka. Bersama tiga teman yang lainnya, Ijom, Muklis (huruf ‘K-nya’ disengaja, karena seharusnya pake ‘H’), dan Ong (Nama aslinya Khulaifi).

Beberapa kali kami berempat pergi berwisata, tapi baru kali ini saya menulis catatannya di blog. Yak, kunjungan kami di hari Kamis kemarin yakni ‘Benang Kelambu.’ Air terjun yang jaraknya tak jauh dari Benang Stokel, destinasi air terjun juga. Bertempat di Kecamatan Batukliang Utara. Medan untuk sampai dari Kota Mataram kurang lebih satu jam sampai lokasi.

Kami menerobos jalan siang itu dengan dua motor dan berboncengan. Sialnya memang, kami selalu pergi bersama dan itu tanpa perempuan, maksudnya cewek, gamblangnya pacar. Ya, tapi, setidaknya saya bisa berbangga ketika ditanya teman, “Kamu? Pergi berempat melulu. Jomblo ya?” tentu, akan saya jawab dengan kata ‘Tidak!’ Kemudian dilanjutkan, ‘Saya jomblo, tapi teman saya tidak!’ begitulah. Ngeles.

Untuk sampai ke tempat ini, seperti kata saya tadi, memakan waktu kurang lebih satu jam, dan baiknya jalanan sudah bagus. Namun di beberapa bagian memang masih kurang terawat. Aspal lepas, bisa jadi karena dilewati oleh truk-truk besar. Dan juga, jalanannya kurang lebar, sehingga untuk ke lokasi, kita harus hati-hati. Selain kurang lebar, di beberapa tempat juga masih banyak jalan yang berkelok-kelok dan tanjakan yang cukup tinggi.

Benang Kelambu, jaraknya lebih jauh dari Benang Stokel. Setelah sampai di gerbang utama wisata, kita harus membayar sebesar dua ribu perak. Itu untuk destinasi wisata Benang Stokel saja, sebab, jika mau ke Benang Kelambu dengan melajutkan perjalan dengan sepeda motor, maka kita diharuskan melewati gerbang selanjutnya yang sudah dijaga oleh om-om yang dari mukanya saja saya yakin beringas dan tak akan melepas satu motor lewat tanpa sepengetahuannya. Nah, di sini kita bisa tentukan mau ke mana. Kalau Benang Stokel, bisa berhenti di sini (setelah gerbang utama) dan jika ke Benang Kelambu, maka melanjutkan perjalanan lagi. Sebenarnya, bisa saja ke Benang Kelambu dengan melewati Benang Stokel dulu. Dengan cara berjalan kaki menerobos hutannya. Itu untuk yang cukup kuat berjalan kaki. Bonusnya : bisa bermain di dua air terjun sekaligus.

Satu motor untuk lewat menuju Benang Kelambu ini cukup membayar enam ribu perak.  Bisa pakai motor, bisa juga jalan. Resikonya : Cuma jalan doang. Perkara capek atau tidak, itu kan urusan kemampuan orang.

Yap! Destinasi ini ternyata ramai sekali! Kita harus melawati tangga besi untuk sampai ke tempat destinasi setelah memarkirkan motor. Saking ramaianya, saya sempat ingin ‘balik saja’. Beberapa turis asing saya perhatikan tampak ‘kecewa’ setibanya di sana. Entahlah, mungkin karena harapan mereka untuk buka-buka baju seksi tak tersalurkan karena banyaknya orang. Beberapa menit mereka duduk, dan keberadaan mereka entah ke mana, mungkin sudah balik karena tempatnya kurang asyik.

Air terjunnya dingin dan segar sekali! Air terjun  yang mengalir berjejer layaknya tirai. Mungkin itu sebabnya diberikan nama ‘kelambu.’ Kelambu dalam bahasa Sasak Lombok berarti tirai. Tingal pilih, mau tirai yang mana? Satu, dua atau tiga? Hah, becanda.

Selain dingin, air yang turun juga keras dan sangat deras. Aliran air yang jatuh, di bawahnya juga dibuatkan kolam kecil yang tak kalah bagusnya. Namun, untuk mengganti pakaian, kita harus menyewa kamar mandi yang tak sesuai karena tingkat kebersihannya masyallah kurang ajar. Saya bisa melihatnya dari luar walau tak masuk.


jangan liat saya, liat saja yang di belakang


Kolam kecil

Mandi dan menikmati beberapa menit, kami memutuskan untuk pulang. Dan ternyata, untuk biaya parkir satu motor itu empat ribu rupiah. Total, tiga kali bayar untuk satu motor itu 12 ribu perak. Beberapa Kang ojek siap mengantar orang-orang yang tak membawa motor sampai ke parkiran di Benang Stokel. Begitulah, destinasi harus dijaga. Selain untuk keindahaan alam agar tetap lestari, juga tempat mencari berkah dan rizki untuk sanak sekeluarga. Kalau ngga punya keluarga, ya, itu, jomblo namanya.

Salam jomblo!


Hanya 3, tukang foto jadi 4








Baca selengkapnya

Rabu, 13 Juli 2016

Tentang Sabtu Bersama Bapak Buat Saya



Cek cek… terima kasih *ambil mic* Assalamualaikum…

Jadi, kemarin, saya dan dua kawan nonton Sabtu Bersama Bapak . Sebuah film yang diangkat dari novel Adhitya Mulya dengan judul yang sama. Saya ngga bakal nyeritain bagaimana dan apa yang saya lakukan bersama teman-teman selepas nonton. Entah itu nangis di pojokan, atau nangis tiap malam minggu karena udah kebiasaan, nggak! Saya cuma akan menggabungkan apa yang saya tonton dari film ‘Sabtu Bersama Bapak’ ini, dengan apa yang saya rasakan menjadi anak dari bapak yang kadang ketemu di hari Sabtu, terkadang juga ngga ketemu karena saya malas pulang dari kostan. Oke, baiklah, saatnya serius.

Sabtu Bersama Bapak, adalah film pertama yang saya tonton di bioskop. Oke, jangan ngejek dulu, bisa ditahan kan? Film ini dibalut kisah romantis, sedih, dan komedi tentunya. Berbeda dengan saya yang sedihnya lebih banyak, tanpa drama ataupun komedi. Kalaupun ada, itu cuma komedi yang dipaksakan. Ya, tau sendirilah. Apalah hidup tanpa tersenyum dan tertawa.

Film ini, saya tidak tahu durasinya berapa lama, karena ngga bisa pencet enter kayak di laptop teman yang sering saya pinjami buat nonton film bajakan. Film ini mampu menguras emosi saya, berdebar, dan tentu saja diporak-porandakan. Terlebih, di scene menonton rekaman ayah setiap minggunya. Di sini saya menitikkan air mata. Di scene awal, saya hampir menangis, dan apa yang saya tonton seakan-akan, saya akan merasakannya pada waktu yang sangat dekat. Sangatlah dekat.  Saya sendiri tak tahu, setiap pesan yang terdengar di telinga saya dari orangtua cenderung lebih cepat masuk di kepala. Apalagi diucapkan dengan nada lirih, teduh, dan sedikit backsound suara piano romantis.

Kemudian, setelah memasuki inti cerita. Saya datar, saya tak merasakan sesedih apa yang saya rasakan di awal tadi. Sesekali, ada adegan yang kembali memainkan emosi saya, tapi terkadang terselip komedi yang membuat saya kembali cerah.

Dan beginilah Sabtu Bersama Bapaknya Getar dan saudara-saudaranya – jika digabungkan, tepatnya dimirip-miripkan dengan film Sabtu Bersama Bapak….

Sabtu bersama bapak, adalah sebuah keluarga yang terdiri dari seorang ayah, ibu, dan dua anak laki-laki yang menjadi pemanis keluarga. Mereka hidup rukun, makmur (kayak masyarakat), tawa renyah, dan kemesraan antar suami istri dan tentunya anak-anak, melengkapi kehidupan mereka yang sempurna. Sempura sekali. Namun tidak, setelah ayah didiagnosa kena penyakit kanker dan umurnya harus terhenti di tahun depan. Lantas, untuk menyampaikan pesan-pesan yang tentunya tidak bisa ia sampaikan kelak pada anak-anaknya, ayah merekam video – pesan-pesan dan nasihat untuk anak-anaknya yang ditonton setiap Sabtu. Begitu terus menerus hingga kasetnya habis. Latarnya bagus, di Bandung, Jakarta, dan Paris. Yes, Paris. Ibukota Prancis – yang kemarin kalah sama Portugal di final Piala Eropa. Eh, sampai mana tadi?

Terus kenapa dengan bapak saya???

Bapak saya, punya satu istri dan semua anak-anaknya laki-laki. Bedanya, anak bapak ada empat. Empat! Tinggal nambah enam orang udah buat kesebelasan yang siap nyaingin Persija Jakarta. Maaf, kok main-main lagi. Jadi begini …

Ramadhan, 2013…
Tangis menderu di setiap sudut rumah. Anak-anaknya menangis, istrinya mencari bantuan dari tetangga sekitar. Dua anak, si sulung dan nomor dua menangis di sela-sela istigfar bapaknya. Si bungsu malah asyik memainkan hape – yang saat itu umurnya baru menginjak sekitar 4 tahun. Anak ketiga tak tahu, ia sedang sekolah di sebuah pondok pesantren.  Dan memberitahu nya adalah salah satu cara untuk membuat kerumitan.

Wajah mereka berair, tepatnya terus menerus menumpahkan air mata. Beberapa orang, dari tukang urut sampai perawat yang rumahnya tak jauh dari rumah juga dijemput, namun bapak tetap meronta kesakitan. Sesekali memegang pundaknya, melafalkan tahlil terus menerus. Mengaung, membangunkan tetangga sekitar. Tak sanggup menegakkan badan. Terus menerus menghadap bawah, dan beberapa kali, di sela-sela tangisan anak-anaknya, ia berujar “Umurku sudah tak lama lagi…”

Waktu sahur tiba, makanan belum siap. Hanya gelas-gelas kosong yang ada di meja. Ibu tidak memasak karena sibuk mengurus suaminya. Anak-anak tidak protes – mengerti keadaan. Pagi itu, selepas sholat shubuh, ia dibawa ke rumah sakit. Dan langsung dibawa ke ruang ICU. Bapak divonis penyait yang mirip dengan kanker – kita tak tau sejauh mana umur penyakit itu akan bertahan. Sang bapak kena penyakit jantung. Sama halnya dengan film Sabtu Bersama Bapak, yang memberitahu anak-anaknya jika umurnya tak lama lagi. Begitu juga dengan bapak, yang selalu bilang, “Saya tidak tahu, umur sampai kapan…. Kalian harus tetap akur. Jangan bertengkar. Semua bisa diselesaikan dengan kepala dingin.” Pesan bapak. Dan bapak itu, bapak saya.

Sampai hari ini, bapak sesekali mengeluhkan sakit, kelelahan, dan pegal di beberapa anggota badannya. Semoga umur beliau tak secepat “Sabtu Bersama Bapak”, walau pesannya selalu disampaikan hampir di setiap kali duduk berdua. Sebab, saya tidak ingin sabtu bersama bapak. Karena masih banyak hari-hari lain, dan hari-hari yang selalu ditunggu kedatangannya.

“Ketika adegan ayah ibu dengan anak-anaknya, saya selalu merasakan emosi yang mengencang dalam film tersebut. Tapi, tidak melulu soal itu juga. Dengan membayangkan ibu dan bapak saja, sekalipun saya sedang tidak berbuat apa-apa, mampu membuat saya menangis seketika. Banci? Tidak kok. Entah kenapa, kata ayah dan ibu adalah kata-kata sahdu bagi saya. Terlebih, mengingatnya setelah merasa telah berbuat kesalahan. Sekali ingat, mewek seketika.”

"Menjalin hubungan itu butuh dua orang yang kuat. itu adalah tanggung jawab masing-masing"(Sabtu Bersama Bapak) #RinduAyah

BTW, film ini sebaiknya ditonton. Banyak pesan moralnya.



Lebaran Bersama Bapak



Baca selengkapnya